Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa sejumlah pejabat dan pihak lainnya, terkait kasus suap izin Hak Guna Usaha sawit di Kuantan Singingi (Kuansing) Provinsi Riau melibatkan eks Bupati Kuansing Andi Putra.
Sebelumnya Setelah melakukan pemeriksaan terhadap 10 saksi termasuk Pj Sekda Kuansing Agus Mandar, pada Senin (01/11/2021) kemarin.
Plt Juru bicara KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulis, Selasa (02/11/2021) pagi, menyebut ada 10 orang saksi diperiksa terkait kasus yang sudah mentersangkakan Bupati Kuansing non aktif Andi Putra dan General Manager PT Adimulia Agrolestari (AA) Sudarso itu, di Mapolda Riau pada hari Selasa ini.
Kesepuluh orang itu terdiri dari sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Kuansing seperti Mardansyah, selaku Plt Kepala DPMPTSP Kabupaten Kuansing, Muhjelan yang menjabat Asisten 1 Setdakab Kabupaten kuansing, Ibrahim Dasuki, selaku Kasi Penetapan Hak dan Penndaftaran Pada Kabupaten Kuansing, Dwi Handaka, selaku Kabid Survey dan Pemetaan pada Kantor Wilayah Perumahan Provinsi Riau dan seorang Protokoler Setda Kuansing bernama Riko. Selain itu ada nama orang dekat Bupati Kuansing non aktif Andi Putra seperti Andri Meiriki yang merupakan Staf Bagian Umum Kuantan Singgigi dan Hendri Kurniadi yang merupakan Ajudan Bupati.
Selain pihak Pemkab Kuansing, Ali Fikri juga menyebut, KPK juga memeriksa sejumlah saksi yang merupakan supir dari Pemkab Kuansing seperti Deli, Yuda dan Sabri. Pemeriksaan ini dilakukan secara maraton oleh Penyidik KPK untuk mencari bukti tambahan terkait kasus suap tersebut. Diketahui sebelumnya, pada tanggal 18 Oktober 2021 lalu, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Teluk Kuantan, Kabupaten Kuansing, Provinsi Riau setelah mengendus adanya praktik suap izin HGU sawit PT AA kepada pihak Pemkab Kuansing. Dalam operasi tersebut, KPK akhirnya menetapkan Bupati non aktif Andi Putra dan GM PT AA sebagai tersangka.
Sebelumnya Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar dalam eksposenya menerangkan konstruksi perkara itu. Pihak KPK menduga, telah terjadi untuk keberlangsungan kegiatan usaha dari PT AA yang sedang mengajukan perpanjangan HGU yang dimulai pada tahun 2019 dan akan berakhir ditahun 2024. Di mana salah satu persyaratan untuk kembali memperpanjang HGU dimaksud adalah dengan membangun kebun kemitraan minimal 20 persen dari HGU yang diajukan.
Lokasi kebun kemitraan 20 persen milik PT AA yang dipersyaratkan tersebut, terletak di Kabupaten Kampar. Di mana, seharusnya berada di Kabupaten Kuantan Singingi.
“Agar persyaratan ini dapat terpenuhi, SDR (Sudarso) kemudian mengajukan surat permohonan ke AP (Andi Putra) selaku Bupati Kuantan Singingi, dan meminta supaya kebun kemitraan PT AA di Kampar disetujui menjadi kebun kemitraan,” terang Lili.
Selanjutnya, dilakukan pertemuan antara Sudarso dan Andi Putra. Dalam pertemuan tersebut, Andi Putra menyampaikan bahwa kebiasaan dalam mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidak keberatan atas 20 persen Kredit Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU yang seharusnya dibangun di Kabupaten Kuansing, dibutuhkan minimal uang Rp2 Miliar.
“Diduga telah terjadi kesepakatan antara AP dengan SDR terkait adanya pemberian uang dengan jumlah tersebut,” lanjut Lili.
Sebagai tanda kesepakatan, sekitar bulan September 2021, diduga telah dilakukan pemberian pertama oleh Sudarso kepada Andi Putra uang sebesar Rp500 juta. Berikutnya pada Senin 18 Oktober 2021 lalu, Sudarso diduga kembali menyerahkan kesanggupannya tersebut kepada Andi Putra dengan menyerahkan uang sekitar Rp200 juta. “Para tersangka disangkakan melanggar pasal tindak pidana korupsi,” ucap Lili.
Tersangka Sudarso selaku pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara tersangka Andi Putra selaku penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi