Devy Christa, anak terpidana mati kasus narkotika Merry Utami bersama Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat mendatangi kantor staf kepresidenan di kompleks Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (1/11).
Terpidana Merry Utami sudah menjalani hukuman selama 20 tahun di penjara.
Mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) itu divonis hukuman mati karena kedapatan membawa heroin 1,1 kilogram di dalam tasnya.
Ia ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta pada Oktober 2001.
Merry sempat dikabarkan akan dieksekusi mati pada tahun 2016 lalu. Namun demikian, hingga saat ini urung dilakukan dan tidak ada kepastian soal eksekusi matinya.
Kedatangan Devy untuk meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengabulkan grasi bagi ibunya.
“Kami menyerahkan surat terbuka, juga surat pribadi dari saya untuk mendorong presiden mengabulkan grasi ibu saya,” ujar Devy dikutip dari Tempo.
Menurut Devy, ibunya tidak pernah membuat masalah selama di penjara, dia berharap hal tersebut bisa menjadi pertimbangan untuk meringankan hukumannya.
Meski telah divonis bersalah dan telah menjalani hukuman selama 20 tahun penjara, pihak keluarga meyakini ibunya tidak bersalah dan hanya dijebak oleh Jerry dan dua temannya, yang merupakan bagian dari sindikat bandar narkoba Internasional.
“Harapan saya dengan saya datang ke sini menyerahkan surat terbuka untuk dipertimbangkan dulu gimana kasus mama,” ujar Devy.
Afif, Kuasa Hukum dari LBH Masyarakat yang mendampingi Devy, menginginkan agar Presiden Jokowi memahami situasi Merry. Terlebih, yang bersangkutan sudah menjalani masa hukuman 20 tahun di penjara dan tidak jelas kapan akan dieksekusi.
Afif mengatakan ketidakpastian yang menimpa Merry hingga saat ini dianggap telah melanggar Hak Asasi.
“2016 itu batal dieksekusi ya tapi sampai sekarang nggak ada kepastian. Itu tindakan yang melanggar hak asasi,” ujarnya.