Sebanyak 500 nasabah yang asetnya disita lembaga keuangan sejak 2020 mengadukan nasibnya ke Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali. Penyitaan itu karena mereka tak mampu membayar cicilan karena terimbas pandemi Covid-19.
“Hampir 500 (aduan) warga Bali, warga asing, dan warga yang tinggal di Bali (asetnya yang dieksekusi),” kata Direktur YLPK Bali Putu Armaya saat dihubungi, Rabu (3/11).
Ia menerangkan, para konsumen itu tak mampu bayar cicilan seperti rumah, mobil dan sepeda motor di lembaga keuangan, seperti bank umum, BPR, hingga koperasi. Padahal mereka mengaku tidak mampu membayar setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan.
“Banyak di Bali konsumen yang di-PHK, dirumahkan, sehingga tidak mampu bayar cicilan rumah, cicilan mobil, dan tidak mampu bayar lagi, banyak itu aset-aset konsumen yang dilelang,” imbuhnya.
YLPK Bali juga menyoroti mekanisme lelang yang dinilai melanggar prosedur. Mereka menilai ada tahap yang harus dilewati untuk melakukan pelelangan itu. “Dalam tahap pelelangan, jangan sampai banyak melanggar prosedur. Misalnya contoh melelangnya belum diikat oleh hak tanggungan sudah dilakukan upaya eksekusi. Belum resmi (diikat) di notaris,” ujarnya.
“Kemudian, ketika dia melakukan upaya pelelangan, konsumen tidak pernah mendapatkan surat panggilan, surat pemberitahuan mengenai proses pelelangan. Tiba-tiba sudah masuk ke pengadilan dan konsumen tidak mengerti apa-apa. Bilanglah alamatnya tidak diketahui, padahal itu alamatnya jelas loh tertera, tetapi ini akal-akalan oknum-oknum petugas lembaga keuangan yang nakal-nakal ini. Akhirnya, dilelang, dan ini banyak diadukan oleh masyarakat,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan, bahwa aset-aset konsumen yang dieksekusi kebanyakan berupa rumah, mobil, dan sepeda motor.
Penyitaan tetap terjadi meskipun ada kebijakan relaksasi dari pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Relaksasi kan sudah habis, konsumen juga tidak (mampu) bayar. Terus terang saja, Bali mengandalkan dari pariwisata, tapi sampai sekarang tamu asing belum ada yang nongol. Tapi di stasiun TV, di radio, di media-media, pemulihan Bali, dibuka pariwisata, sampai sekarang (wisman) belum ada. Itu mengeluh para sopir, sopir yang membawa turis-turis asing,” ujarnya.
Kendati ada program relaksasi, lembaga keuangan tetap menyita aset konsumen yang tidak bisa membayar cicilan. Berdasarkan laporan yang diterima YLPK, yang paling banyak dieksekusi adalah kendaraan roda empat atau mobil milik pekerja industri pariwisata.
“Kendaraan paling banyak dieksekusi oleh finance itu roda dua dan roda empat, terutama roda empat yang terutama dipakai oleh orang-orang yang bekerja di industri pariwisata. Seolah-olah negara tidak mampu melindungi masyarakat konsumen lagi. Aturan dari OJK kan jelas, memberikan relaksasi, tapi kan diberikan kebijakan ke finance masing-masing. Jadi, kalau sudah diberikan kebijakan ke finance masing-masing, ya jelas tidak ada ampun lagi,” tutup Armaya. (sumber-Merdeka.com)