Kematian Agitha Sidonia Magdalena Wayong (27), warga Kelurahan Matani Satu, Lingkungan II, Kecamatan Tomohon Tengah, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, menyisakan duka mendalam bagi pihak keluarga. Apalagi, ada dugaan kesalahan prosedur atau malpraktik yang menyebabkan kematian tersebut.
Diagnosa penyebab kematian Agitha Sidonia Magdalena Wayong adalah infeksi berat akibat bekas operasi.
Dr Elaine Wulur M.Kes, Wakil Direktur Rumah Sakit di Kota Tomohon tersebut akhirnya memberikan klarifikasi, sekaligus menceritakan kronologi sejak pasien pertama dirawat di tempat tersebut.
“Pasien atas nama Agitha memang pernah mendapatkan perawatan di rumah sakit sejak tanggal 1 Agustus hingga 3 September 2021,” kata Elaine dikutip dari Kumparan.
Namun demikian, Agitha pertama kali ke rumah sakit pada tanggal 1 Juli untuk memeriksa kesehatan di Poliklinik Kebidanan Kandungan, dengan status rawat jalan. Barulah pada tanggal 1 Agustus, pasien menjalani rawat inap dengan status merupakan pasien rujukan dari rumah sakit lain, dengan keluhan nyeri perut dan muntah-muntah.
“Pasien saat itu dirawat di Ruang Yohanes, Agitha langsung mendapatkan penanganan oleh dokter. Mulai dari pemeriksaan darah dan rontgen. Hasil dari pemeriksaan itu, Agitha didiagnosa mengalami gangguan penyumbatan di organ usus,” kata Elaine.
Mendapatkan diagnosa tersebut, pasien kemudian konsultasi ke dokter ahli bedah terkait tindakan apa yang harus dilakukan. Lanjut dikatakan Elaine, pada tanggal 2 Agustus, pasien kembali mengeluh sakit perut, di mana dokter memberikan obat penghilang rasa sakit. Selain itu pihak rumah sakit juga melakukan transfusi darah karena melihat kondisi pasien yang pucat.
“Besoknya tanggal 3 Agustus, Agitha diperiksa USG dan ditemukan ada kista di indung telur. Di hari itu, sekitar pukul 10.00 Wita, penanganan dialihkan ke dokter kandungan. Pukul 12.50 Wita dilakukan konsul ke penyakit dalam. Saat konsul, ternyata tidak ditemukan adanya penyakit dalam. Pukul 13.00 Wita, kondisi pasien tiba-tiba memburuk, mengeluhkan rasa pusing dan gelisah,” kata Elaine.
Pihak rumah sakit kemudian memindahkan pasien dari ruangan Yohanes ke ruangan ICU, karena kondisi pasien kritis. Pada tanggal 4 Agustus, kemudian melakukan operasi, di mana ada tiga dokter yakni dokter bedah, kandungan dan anastesi, dengan dokter kandungan yang melakukan tindakan operasi.
“Waktu mau operasi, yang buka dokter kandungan. Dan waktu baru mau dibuka, kelihatan sudah ada cairan nanah dan dibersihkan atas arahan dari dokter bedah. Jadi dua dokter (kandungan dan bedah) ini ada di meja operasi,” katanya.
Saat operasi, dokter menemukan organ usus pasien dalam kondisi sudah melekat satu sama lain. Melihat itu, dokter mengaku terlalu berisiko untuk mengangkat Kista karena ada di bawah usus. Karena merasa beresiko, pihak dokter hanya membersihkan rongga perutnya.
Menurut Elaine, proses operasi itu hanya sebatas membersihkan cairan nanah, tidak sampai di pengangkatan Kista. Hal ini dilakukan karena dianggap memiliki resiko dengan alasan kondisi usus pasien sudah saling melekat.
“Lalu sepersetujuan dokter bedah, luka operasi ditutup, karena kalau mau diurai beresiko. Kita ini rumah sakit Kelas C. Kalau kita rumah sakit kelas lebih tinggi misalnya kelas B, dokter spesialisnya dan alat-alat medisnya banyak. Semuanya memungkinkan untuk diambil tindakan yang lebih jauh, supaya kelihatan di bawah usus ini ada apa. Tapi karena dia (usus) melekat erat, jadi tidak dilakukan pengangkatan kista,” katanya.
Sementara itu, untuk mencegah terjadinya penumpukan nanah di perut pasien, dokter pun membuat lubang dan memasukkan selang sebagai saluran pengeluaran jika terjadi penumpukan.
“Karena ada cairan nanah dikeluarkan, waktu ditutup, luka operasinya dipasangkan selang di bagian kiri dan kanan perut pasien, dengan perkiraan kami, cairan yang tidak ke luar itu, akan ke luar lewat selang. Selang itu membantu untuk supaya cairan sisa nanah bisa ke luar,” katanya.
Tanggal 11 Agustus, dokter kembali melakukan pengecekan terhadap selang yang dipasang di perut pasien. Saat diperiksa, ternyata selang itu sudah tidak lagi mengeluarkan cairan nanah, sehingga dokter mencabut selang itu. Namun, saat akan dikeluarkan, salah satu selang sudah melekat dengan kulit pasien, sehingga dokter kembali memasukkan pasien ke kamar operasi untuk mengeluarkan selang itu.
Selanjutnya, pada 31 Agustus, pasien kembali dimasukan ke dalam kamar operasi karena sela-sela jahitan di perut kembali mengeluarkan cairan. Tindakan yang diambil kembali membius pasien untuk melakukan tindakan penjahitan kembali.
“Luka bekas operasi mengeluarkan cairan dari sela jahitan. Ada jahitan yang terbuka sedikit, diperiksa oleh dokter dirawat dari tanggal 11 sampai 31 Agustus tidak menutup baik, jadi dijahit lagi luka bekas operasi. Itu luka bekas operasi itu. Jadi dibawa lagi di kamar operasi supaya dokter kerja tidak ada gangguan, kemudian dijahit di ruang operasi. Itu yang mungkin mereka lihat saat cabut selang, dibawa ke kamar operasi, dijahit, dibawa lagi ke kamar operasi. Jadi keluarga berpikir itu tiga kali, padahal operasinya itu hanya satu kali,” ujarnya.
Elaine mengatakan, semua tindakan yang dilakukan pihaknya, selalu berkoordinasi dan sepersetujuan dengan keluarga pasien dan sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP).
“Semua tindakan, rumah sakit selalu berkoordinasi dengan keluarga dalam hal ini suami pasien. Semua tindakan selalu ada persetujuan sesuai SOP. Termasuk saat dilakukan penjahitan kembali luka bekas operasi yang masih mengeluarkan cairan. Suami selalu yang tandatangan,” ujarnya.
Lanjut dikatakan Elaine, pada tanggal 3 September, pasien akan dipulangkan, karena kondisinya sudah dalam keadaan membaik. Namun, untuk memastikan keadaannya, pihak rumah sakit melakukan pemeriksaan darah di Laboratorium. Dari hasil Laboratorium itu, tidak ditemukan tanda-tanda infeksi, sehingga pasien diperbolehkan rawat jalan.
Selang waktu 3 September hingga 7 September 2021, pasien sembilan kali melakukan kontrol kesehatan di dokter yang menanganinya. Namun, kondisi pasien kembali menurun, dan dilaporkan mengalami kejang-kejang dan sakit perut dan kembali dibawa ke rumah sakit. Kondisi pasien yang tak membaik, sehingga pilihan dirujuk ke RSUP Prof Kandou Malalayang.
“Tanggal 29 September datang kembali di rawat di IGD, tidak masuk rumah sakit. Saat di IGD, pasien mengeluh sakit perut. Yang kami lakukan adalah tindakan pertolongan pertama, tapi karena melihat kondisi yang sudah kesakitan, maka dikonsul lagi ke bedah, penyakit dalam dan kandungan, kemudian diambil kesimpulan waktu itu dirujuk ke Manado,” kata Elaine.
“Semua tindakan yang diambil oleh rumah sakit, sesuai dengan SOP. Kalau tidak sesuai dengan SOP maka hal itu tidak boleh dilakukan,” kata Wenur kembali.