Pakar hukum tindak pidana korupsi Nur Basuki Minarno menyebut tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus korupsi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) Heru Hidayat tak tepat. Nur membeberkan dua alasan terkait hal tersebut.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga itu memberikan dua alasan mengapa tuntutan tersebut dinilainya tak tepat.
“Yang pertama alasannya karena Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak masuk di dalam surat dakwaan (dari JPU),” ujarnya dilansir dari Liputan6, Selasa (7/12).
Dalam dakwaan terhadap Heru Hidayat, jaksa hanya mencantumkan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Dalam pasal tersebut tidak ada ancaman pidana hukuman mati terhadap terdakwa. Ancaman pidana hukuman mati terdapat pada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Namun pasal ini tidak disertakan jaksa dalam dakwaan Heru Hidayat.
Menurutnya, jika penuntut umum ingin menuntut mati, maka harus menyertakan Pasal 2 ayat (2) itu dalam surat dakwaan.
“Menurut pendapat saya, Pasal 2 ayat (2) harus dicatumkan dalam surat dakwaan, baru bisa jaksa itu menuntut pidana mati. Karena di dalam Pasal 2 ayat (2), nanti JPU itu harus membuktikan bahwa korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, keadaan tertentu itu adalah keadaan di mana terjadi bencana alam, di mana terjadi krisis ekonomi atau melakukan pengulangan tindak pidana,” kata dia.
Alasan kedua, kata Nur, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Asabri tidak masuk dalam kategori pengulangan tindak pidana. Pasalnya, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya hampir bersamaan dengan tindak pidana dalam kasus Asabri.
Menurut Nur, yang berbeda dari keduanya hanya waktu penuntutan di mana kasus Jiwasraya lebih dahulu diproses dari kasus Asabri.
“Apakah bisa dikatakan perbuatan terdakwa Heru Hidayat pada kasus Asabri itu merupakan pengulangan dari tindak pidana yang telah dilakukan Heru Hidayat pada kasus Jiwasraya? Jadi, kalau saya perhatikan, tempusnya hampir bersamaan, artinya waktu kejadian perkara itu terjadi bersamaan. Hanya saja proses penuntutannya berbeda. Jadi, ini bukan merupakan pengulangan tindak pidana,” kata dia.
Menurut Nur, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan Asabri masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. Hal ini berarti seseorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri.
“Ini merupakan konkursus, dalam ilmu hukum namanya konkursus realis. Jadi, melakukan beberapa perbuatan pidana, yang masing-masing perbuatan itu diancam dengan pidananya sendiri-sendiri. Jadi, tidak tepat kalau jaksa memberikan pemberatan kepada Heru Hidayat dengan alasan bahwa Heru Hidayat itu telah melakukan pengulangan tindak pidana,” kata dia.
Konkursus realis ini, kata Nur berbeda dengan pengulangan tindak pidana atau residive. Menurut dia, residive terjadi jika seseorang melakukan tindak pidana lagi setelah sebelumnya dinyatakan bersalah berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
“Kalau pengulangan tindak pidana atau residive begini, dia diputus pidana, setelah diputus pidana, dia melakukan perbuatan pidana lagi. Kasusnya Heru Hidayat kan tidak, perbuatan pidananya sudah dilakukan semua, hanya diproses tidak dalam waktu yang bersamaan. Jadi, antara kasus Jiwasraya dengan Asabri kan hampir bersamaan, hanya penuntutannya didahulukan Jiwasraya, kemudian Jiwasraya selesai kemudian baru kasus Asabri,” kata Nur.