Mantan Dirut Pelindo II Richard Joost Lino atau RJ Lino divonis 4 tahun penjara oleh pengadilan Tipikor, dalam korupsi pengadaan tiga unit quayside container crane (QCC).
Dalam putusanya Ketua majelis hakim Rosmina berpendapat KPK tidak cermat dalam menghitung kerugian yang diakibatkan terdakwa, Pendapat itu didasarkan Rosmina karena perbedaan cara hitung KPK dan BPK.
“Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK tidak cermat dalam menghitung jumlah kerugian negara,” kata Rosmina di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa, (14/12.
Rosmina lalu merinci, bagaimana cara kedua institusi ini berbeda cara hitung. Menurut Rosmina, cara hitung dilakukan BPK adalah dengan tidak lagi menghitung keuntungan dari penyedia barang. Sedangkan KPK sebaliknya, meski timbul kerugian akibat adanya penyimpangan prosedur pengadaan.
“Menimbang, bahwa tujuan pengadaan barang pada pokoknya untuk mendapat keuntungan. Jika pengadaan barang dilakukan secara menyimpang, maka keuntungan dari pengadaan barang tersebut tidak dapat diterima (dihitung),” kata Rosmina.
Atas dasar keyakinan Rosmina, KPK dinilai tidak cermat karena memasukkan hitungan keuntungan. Padahal, mengacu pada asas penghitungan kerugian negara, keuntungan hanya dapat dihitung jika tidak terjadi penyimpangan.
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas oleh karenanya penghitungan kerugian negara yang dilakukan Unit forensik akuntansi direktorat deteksi dan analisis korupsi KPK dilakukan secara tidak cermat dan melanggar asas penghitungan kerugian negara,” ujar dia.
Untuk diketahui, berdasarkan penghitungan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK, PT Pelindo II membayar USD15.554.000 untuk pengadaan proyek QCC kepada perusahaan penyedia, Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Science and Technology Group Co Ltd (HDHM). Sedangkan, menurut catatan BPK sesuai dengan dokumen laporan hasil pemeriksaan (LHP), pembayaran riil dilakukan PT Pelindo II kepada HDHM senilai USD15.165.150.
Dissenting Opinion Tidak Ada Niat Jahat
Ketua majelis hakim Rosmina juga menyampaikan dissenting opinion. Dua hakim anggota, Teguh Santoso dan Agus Salim menyatakan RJ Lino bersalah namun Rosmina menilai terdakwa tidak ada niat jahat dan berhak bebas.
“Menimbang bahwa sebagaimana pertimbangan pada diri terdakwa tidak ditemukan adanya niat jahat dalam pengadaan atau memilih tiga unit QCC twinlift kapasitas 61 ton untuk Pelabuhan Panjang, Palembang dan Pontianak, maka adalah beralasan hukum untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutan sebagaimana dakwaan pertama dan kedua dari penuntut umum,” kata Rosmina.
Pendapat Rosmina yang berbeda memiliki alasan. Menurut dia, pengadaan QCC yang dilakukan RJ Lino secara tidak prosedural semata untuk keuntungan perusahaan. Selain karena harga yang lebih murah dan kapasitas, QCC dipilih RJ Lino diyakini dapat memberi keuntungan lebih karena kapasitasnya yang lebih besar yakni mencapai 61 ton bermodel ganda (twin) dengan harga jual model tunggal (single).
Mengingat fungsi yang sama, Rosmina meyakini keputusan RJ Lino terhadap pengadaan QCC adalah demi tujuan bisnis dan produktivitas perusahaan. Meski melakukan pelanggaran cara pengadaan.
“Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, hakim ketua majelis berpendapat, meskipun melanggar prosedur pengadaan barang pada Pelindo II, namun tindakan terdakwa memilih QCC twinlift kapasitas 61 ton adalah untuk kepentingan perusahaan di masa depan agar lebih produktif,” jelas Rosmina dalam sidang.
Meski demikian, dua hakim tetap menyatakan RJ Lino bersalah dan dihukum penjara selama 4 tahun dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Keputusan hakim ini lebih rendah dari tuntutan tim Jaksa KPK yakni enam tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta. (sumber-Liputan6.com)