Kuasa Hukum Terdakwa Kasus ASABRI Heru Hidayat, Kresna Hutauruk bersikeras tuntutan hukuman mati Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada kliennya keliru. Kresna menilai JPU dari Kejaksaan Agung telah menyesatkan publik.
Menurutnya berdasarkan replik atau jawaban JPU telah menggunakan dalil putusan pengadilan yang sudah dibatalkan dalam putusan kasasi.
“Kami sangat menyayangkan tindakan JPU yang menggunakan dalil putusan pengadilan negeri yang sudah dibatalkan oleh putusan kasasi hanya untuk memaksakan tuntutan di luar dakwaan, yang jelas menyimpang. Ini menunjukkan JPU sudah kehabisan akal,” ujar Kresna dilansir dari PIKIRAN RAKYAT, Selasa (21/12).
Kresna berujar, tidak ada hal baru dalam replik JPU selain mengulang apa yang dituangkan dalam surat dakwaan Heru Hidayat.
Satu-satunya hal baru dalam replik JPU adalah JPU mengutip Putusan Pengadilan Negeri perkara Susi Tur Andayani di mana hakim memutus di luar dakwaan.
Namun, dalam hal itu JPU lupa atau memang mengabaikan fakta bahwa putusan PN Susi tersebut sudah dibatalkan oleh putusan kasasi karena hakim PN memutuskan di luar dakwaan.
“Dalam duplik, kami sudah membantah dalil JPU tersebut sebab Putusan Pengadilan Negeri perkara tersebut sudah dibatalkan oleh putusan kasasi yang berkekuatan hukum tetap dengan alasan pemeriksaan di sidang pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dan musyawarah majelis hakim didasarkan atas surat dakwaan jaksa,” tuturnya
Kresna mengatakan, JPU tidak boleh memaksakan sesuatu yang berada di luar koridor hukum. Karena itu tuntutan pidana mati jelas melanggar aturan dan berlebihan karena JPU menuntut di luar dakwaan.
Diketahui, dalam surat dakwaan terhadap Heru Hidayat dalam kasus Asabri, JPU tidak pernah mencantumkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor merupakan pasal yang mengatur pidana mati bagi terdakwa jika melakukan korupsi dalam keadaan tertentu seperti bencana nasional, krisis moneter atau pengulangan tindak pidana. Namun, dalam tuntutan, JPU justru menuntut Heru Hidayat dengan pidana mati.
Lebih jauh, Kresna juga menyayangkan tindakan JPU yang kembali memaksakan tuduhan kerugian negara dalam kasus Asabri sebesar Rp 22 triliun hanya dengan menghitung uang keluar Asabri periode 2012-2019.
Padahal dalam periode tersebut Asabri tidak hanya keluar uang, melainkan juga menerima keuntungan dari penjualan saham bahkan sampai saat ini masih memiliki saham dan unit penyertaan reksadana yang masih bernilai.