Satu bulan terakhir, banyaknya gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di sisi lain, MK pernah mengadili permohonan serupa sebanyak 13 kali dan semuanya menemui jalan buntu.
Salah satu putusan itu tertuang dalam putusan Nomor Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. MK menguji Pasal 9 UU 42/2008 berbunyi:
Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh perseratus) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima perseratus) dari suara sah nasional dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal di atas kemudian muncul kembali dalam Pemilu terakhir. Meski dalam putusan itu hasil akhirnya MK menolak, tapi 9 hakim konstitusi tidak bulat. Terdapat suara minoritas dari hakim konstitusi sebanyak 3 orang yang setuju presidential threshold dihapus. Yaitu Abdul Mukhtie Fadjar, Maruar Siahaan dan Akil Mochtar.
“Bahwa pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sebenarnya sudah sangat jelas maksudnya dan tidak memberi peluang bagi pembentuk undang-undang untuk membuat kebijakan hukum (legal policy) dengan ‘akal-akalan’ yang terkontaminasi motif politik ad hoc menentukan presidential threshold,” sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 UU 42/2008 yang dimohonkan pengujian,” kata Abdul Mukhtie Fadjar, Maruarar Siahaan dan Akil Mochtar dilansir dari detiknews.
Alasan penggunaan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi:
Tata cara pelaksanaan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang
Sebagai manifestasi mandat UUD 1945 kepada pembentuk UU dapat membuat syarat ‘threshold’ tidak tepat. Karena pasal a quo tidak mengatur tentang persyaratan, melainkan masalah cara, karena tentang syarat sudah diatur dalam Pasal 6 UUD 1945, tidak dapat dicampuradukkan.
“Demikian pula argumentasi bahwa ‘presidential threshold’ dimaksudkan agar calon Presiden dan Wakil Presiden memang mempunyai basis dukungan rakyat yang kuat dan luas, sebab dukungan yang luas akan diwujudkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, sebagaimana ketentuan Pasal 6A ayat (1) juncto Pasal 6A ayat (3) UUD 1945,” beber Abdul Mukhtie Fadjar, Maruarar Siahaan dan Akil Mochtar.
Menurut Abdul Mukhtie Fadjar, Maruarar Siahaan dan Akil Mochtar, pengalaman dari Pemilu Presiden 2004 menunjukkan bahwa hasil Pemilu Presiden tidak kompatibel dengan hasil pemilu legislatif dan jumlah perolehan suara partai atau gabungan partai politik yang mengusung atau mengusulkannya. Karena pasangan calon partai politik atau gabungan partai politik pengusungnya, perolehan suaranya dalam Pemilu Legislatif lebih kecil dari pada perolehan suara pasangan calon lainnya, justru yang memenangkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
“Sebenarnya, kalau mau rasional, dengan telah ditetapkannya ‘parliamentary threshold’ dinyatakan konstitusional, maka lebih legitimate apabila ‘presidential threshold’ bagi partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu juga sama dengan ‘parliamentary threshold’, yakni 2,5% saja,” ucap Abdul Mukhtie Fadjar, Maruarar Siahaan dan Akil Mochtar.
Sejatinya, kata Abdul Mukhtie Fadjar, Maruarar Siahaan dan Akil Mochtar, apabila Pemilu diselenggarakan secara serempak dalam waktu yang bersamaan, maka mutatis mutandis ketentuan ‘presidential threshold’ dalam Pasal 9 UU 42/2008 kehilangan relevansinya. Namun suara Abdul Mukhtie Fadjar, Maruarar Siahaan dan Akil Mochtar, kalah dengan 6 hakim MK lainnya, yaitu Mahfud MD, Maria Farida Indrati, Achmad Sodiki, M. Arsyad Sanusi, dan Muhammad Alim.
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon I (Saurip Kadi), Pemohon II (Partai Bulan Bintang), dan para Pemohon III (Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional, dan Partai Republika Nusantara) untuk seluruhnya,” putus MK yang saat itu ketuanya Mahfud MD.
Sebagaimana diketahui, sejumlah orang menggugat Pasal 222 UU Pemilu soal presidential threshold 20 persen. Pasal 222 yang diminta dihapus itu berbunyi:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.