Mantan Kepala Desa (Kades) Baran Melintang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, terbukti bersalah melakukan korupsi dana desa sebesar Rp 208 juta lebih.
Mantan Kades Penti Kurniawan, tidak sendiri, perbuatan melawan hukum itu dilakukan bersama bendaharanya yakni Supri.
Keduanya divonis satu tahun delapan bulan penjara dan denda Rp 50 juta, setelah dilakukan penuntutan oleh Tim Penuntut Umum Kejari Meranti di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Senin (24/1/2022).
Penti Kurniawan didakwa melakukan perbuatan secara bersama-sama dengan Supri dalam mengelola APBDes Desa Baran Melintang, Kecamatan Pulau Merbau tahun anggaran 2018.
“Dalam pengelolaan tersebut terdapat belanja kegiatan yang tidak dilaksanakan dan kelebihan bayar pada belanja kegiatan serta pemahalan belanja (mark up), sehingga telah memperkaya diri dan orang lain sebesar Rp 208.405.636, sesuai hasil audit perhitungan kerugian negara (PKN) oleh Inspektorat Meranti,” kata Kasi Intel Kejari Meranti, Hamiko.
Kedua terdakwa dinyatakan terbukti bersalah dan melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) KUHPidana.
Masing-masing dipidana satu tahun delapan bulan penjara dan denda Rp 50 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana satu bulan penjara.
“Terhadap terdakwa Penti Kurniawan, ditambah dengan uang pengganti sebesar Rp 122.155.636 paling lama dalam satu bulan sesudah putusan ini berkekuatan hukum tetap dan dikembalikan ke kas daerah,” ujarnya.
Sebelumnya, Penti Kurniawan dan Supri mengakui kesalahannya karena telah melakukan penyelewengan pengelolaan dana desa.
“Saya khilaf, saya menyadari apa yang telah saya perbuat ini salah. Saya mengaku salah dan siap menerima risikonya,” kata Penti di Mapolres Kepulauan Meranti pada Selasa (19/10/ 2021) lalu.
Untuk itu, ia menerima konsekuensi dari hasil sidang yang akan dijalani dalam waktu dekat. Bahkan tidak akan meminta pendampingan hukum dari luar.
“Tidak, saya tidak akan minta pendampingan hukum dari luar. Saya siap terima apapun itu,” ujarnya.
Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, polisi menemukan adanya dugaan SPJ bodong oleh mantan bendahara berdasarkan perintah kepala desa untuk realisasi APBDesa tahun 2018 silam.
Sejumlah modus yang dilakukan di antaranya belanja fiktif, mark up harga, pembelian sejumlah barang dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi.
“Modus di antaranya belanja fiktif fotocopy, upah pelaksana kegiatan di desa yang tidak dibayarkan, mark up harga pembelian infocus, laptop, printer, ambulans laut dan pembangunan sarana air bersih dan lain-lain,” ujarnya.
Selain itu, tidak sesuainya spesifikasi barang berupa belanja operasional kantor, pembuatan peta desa dan pemahaman harga terhadap pekerjaan pembangunan Jalan Sungai Anak Baran.
Dari audit dan ditemukan oleh mereka bersama Inspektorat setempat, potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp 208.405.636. (sumber-Batamnews.com)