Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Mahfud MD mengakui jika sampai saat ini ada masalah antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang masih belum terselesaikan pada tataran pelaksanaan lapangan.
Hal ini lantaran sejumlah kesulitan pembuktian kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Hal itu disampaikan Mahfud dalam seminar bertajuk Memperkuat Komitmen Negara Mewujudkan Perlindungan pada Pembela HAM yang diadakan Kemitraan Indonesia, Kamis (27/1).
Kesulitan pertama menurut Mahfud adalah tidak sesuainya proses pengungkapan kasus yang dilakukan antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung.
“Komnas HAM (menyerahkan) ini (hasil) penyelidikan, Kejaksaan Agung tinggal sidik. Tapi Kejaksaan Agung mengatakan ini tidak memenuhi standar pembuktian dengan dua alat bukti yang cukup,” tutur Mahfud dilansir dari Kompas.com.
Mahfud mengatakan, proses itu yang membuat kasus-kasus pengungkapan HAM berat tertunda.
“Itu sering macet, tapi kita terus mencari jalan tengah agar bisa diselesaikan,” katanya.
Persoalan berikutnya, lanjut Mahfud, adalah belum adanya Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Mahfud menyebut Indonesia pernah punya UU tersebut namun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Lalu pemerintah dan DPR belum bisa membuat lagi sampai saat ini, berarti sudah 17 tahun,” jelasnya.
Adapun Indonesia pernah punya UU KKR yaitu UU Nomor 27 Tahun 2004. Namun, pada tahun 2006, MK memutuskan membatalkan UU tersebut karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Tapi Mahfud optimis bahwa UU KKR akan bisa dibuat kembali. Ia menyebut saat ini prosesnya sedang digodok oleh pemerintah.
“Memang tidak mudah karena masalah pelanggaran HAM selain rumit (di sisi) pembuktian juga ada masalah politis yang menyertai,” pungkasnya.
Diketahui dari 12 kasus pelanggaran HAM berat, pemerintah melalui Kejaksaan Agung sedang memulai penyidikan pada peristiwa di Paniai, Papua yang terjadi tahun 2014.
Pada 3 Desember 2021 lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin telah membentuk tim penyidik untuk menangani perkara ini. Tim tersebut berisi 22 orang anggota jaksa senior yang dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono.