Perjanjian ekstradisi yang ditandatangi antara Indoensia dan Singapura mendapat sorotan dari DPR RI. Wakil Ketua Komisi I DPR, Anton Sukartono Suratto, mempertanyakan keuntungan yang didapat Indonesia dari hasil perjanjian dengan Singapura. Pasalnya, sejumlah poin kesepakatan di dalamnya justru berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia.
“Yang menjadi bargaining (tawaran), oke kami (Singapura) kasih ekstradisi, maka kami (Singapura) minta FIR, minta DCA, itu yang kami rasa keberatan di situ,” ujar Anton dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi pada Senin (14/2/2022).
Ia mengkritisi hasil perjanjian terkait pelayanan navigasi penerbangan ruang udara atau Flight Information Region (FIR). Pasalnya, ruang udara di ketinggian 0 sampai 37 ribu kaki atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna masih merupakan kewenangan dari Pemerintah Singapura.
“FIR itu wilayah kita, kedaulatan kita, terus harus kita minta izin, tidak bener Bu. Saya mau ke rumah anak saya masa harus minta izin, menyeberangi Natuna saya harus izin,” ujar Anton.
Sementara itu, anggota Komisi I Fraksi Partai Demokrat menilai pemerintah belumlah memberikan penjelasan secara detail terkait keseluruhan hasil kesepakatan Indonesia dengan Singapura. Hal inilah yang membuat publik tak melihat manfaatnya.
“Ada dispute diplomasi yang menyebabkan output hasil perjanjian itu bias, tapi saya nilai bahwa secara implisit memang benar Singapura yang lebih bener,” ujar Syarief.
Indonesia memang mendapatkan manfaat dari hasil kesepakatan tersebut yang terkait ekstradisi untuk 31 jenis kejahatan. Namun, hal tersebut harus ditukar dengan Perjanjian Kerjasama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) yang berpotensi terancamnya kedaulatan Indonesia.
Singapura dapat mengajukan hak menggelar latihan tempur dan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna.
“Persoalan perjanjian Indonesia-Singapura ini memang masalah yang sangat serius, ini menyangkut masalah kedaulatan,” ujar Syarief.
Anggota Komisi I Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Effendi Simbolon turut mengkritisi perjanjian antara Indonesia dan Singapura. Ia mengungkap, hingga saat ini DPR belum menerima surat permintaan dari pemerintah untuk meratifikasi hasil perjanjian tersebut.
“Di mana kami ingin bertanya meminta penjelasan? sampai hari inipun pemerintah tidak memberikan suratnya kepada DPR,” ujar Effendi.
Ia menjelaskan, Indonesia dinilainya rugi dalam perjanjian tersebut. Pasalnya ada kesepakatan terkait DCA dengan Singapura yang berpotensi membahayakan kedaulatan dalam negeri.
Di dalamnya, ada kesepakatan di mana Singapura dapat mengajukan hak menggelar latihan tempur dan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna. Hal tersebut pun pernah ditolak oleh DPR pada 2007.
“Saya kira tidak semudah itu kita menggadaikan (kedaulatan) hanya untuk ekstradisi yang sasarannya tidak tahu ke mana,” ujar Effendi.
Diketahui, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum Singapura K Shanmugam, yang disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong, di Bintan, Kepulauan Riau, pada Selasa (25/1/2022). Perjanjian Ekstradisi itu ditandatangani bersamaan dengan Perjanjian FIR dan DCA. (sumber-Republika)