Kontroversi putusan Majelis Hakim PN Bandung yang membebankan restitusi para korban pemaksaan seksual Herry Wirawan kepada negara terus berlanjut.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu, menilai pembayaran restitusi atau ganti rugi bagi korban pelecehan seksual Herry Wirawan tidak seharusnya dibebankan kepada negara, melainkan pada pelaku.
Pernyataan Edwin tersebut menanggapi putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada 15 Februari 2022, yang memvonis hukuman penjara seumur hidup Herry Wirawan dan putusan restitusi terhadap 13 korban santriwati dibayarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
“Terhadap putusan ini LPSK berpandangan ini belum inkrah. Jaksa masih bisa melakukan banding. Putusan hakim untuk membebankan restitusi kepada Kementerian PPPA kurang tepat. Restitusi itu diberikan kepada korban oleh pelaku atau pihak ketiga. Argumennya PP Nomor 43 Tahun 2017 tidak dikenal pihak ketiga,” kata Edwin dilansir dari liputan6.com, Rabu (23/2).
Edwin menjelaskan bahwa negara bukan pihak ketiga dan tidak ada hubungan dengan pelaku sehingga tidak dapat dibebankan restitusi.
“Negara tidak ada hubungan dengan perbuatan pidana pelaku. Pihak ketiga harus pihak jelas hubungan hubungannya dengan pelaku,” tegasnya.
Edwin menilai pembayaran denda seharusnya bisa melalui penyitaan aset-aser yayasan Herry.
“Pembayaran restitusi dapat dibebankan dari aset yayasan pelaku. Yayasan seharusnya dibubarkan lebih dahulu. Aset disita dan dijual untuk pembayaran restitusi yang menjadi vonis pengadilan,” pungkasnya.