Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, banyak menuai kritik. Sejarawan Universitas Andalas (Unand) Wannofri Samry menilai karena dinilai ahistoris.
“Secara substansi, kita setuju soal peringatan Penegakan Kedaulatan Negara pada 1 Maret. Tetapi, ada kesalahan fatal dan ahistoris dalam Keppres tersebut,” ujar Wannofri ketika berbincang dengan Padangkita.com, Selasa (8/3/2022).
Ia menyoroti poin pertimbangan berkaitan dengan sejarah Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 dalam Keppres tersebut yang meghilangkan peran Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Syafruddin Prawiranegara.
“SU 1 Maret adalah mata rantai perjuangan gerilya PDRI meyakinkan dunia luar bahwa Indonesia masih ada. Tidak memasukkan PDRI dalam konsiderans (Keppres) salah fatal,” jelas dia.
Sebelum SU 1 Maret, kata dia, banyak serangan serupa yang dilakukan gerilyawan untuk melawan propaganda Belanda yang mengatakan Indonesia tidak ada.
“Seperti serangan ke Kota Payakumbuh yang direncanakan di Situjuh, yang berujung Tragedi Situjuh. Tetapi, yang jadi perhatian hanya SU 1 Maret karena lokasinya di Yogyakarta,” imbuhnya.
Selanjutnya, Wannofri menyoroti soal nama-nama tokoh yang disebut dan tidak disebut Keppres tersebut sehingga memicu perdebatan.
“Terkait Soekarno-Hatta, mereka tidak terlibat dalam SU 1 Maret. Mereka saat itu sedang ditawan Belanda. Walaupun dicoba dihubungkan, tetapi tidak ada bukti soal peran Dwi-Tunggal tersebut,” terang Wannofri yang juga menjabat sebagai Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumatra Barat.
Ia menambahkan, ketika SU 1 Maret terjadi, pemerintah yang sah adalah PDRI di bawah Syafruddin Prawiranegara.
“Belanda memang ada berdiplomasi dengan Soekarno-Hatta, karena Belanda tidak yakin mengalahkan gerilyawan Indonesia. Tetapi, pemerintah yang sah tetap di tangan Syafruddin selaku Ketua PDRI dan Soedirman selaku Panglima Besar Angkatan Perang RI mengakui PDRI,” jelas dia.
Wannofri menyebut Keppres Nomor 2 Tahun 2022 juga menimbulkan masalah karena tidak mencantumkan nama tokoh yang terlibat, seperti Soeharto.
“Perdebatan soal siapa yang berinisiatif dalam SU 1 Maret, tidak penting betul. Tetapi tidak bisa dibantah bahwa komandan lapangan adalah Letkol Soeharto. Tidak memasukkan nama Soeharto, itu ahistoris,” ujarnya.
Ia menilai, polemik yang muncul terkait Keppres tersebut sebaiknya dicarikan solusinya.
“Kalau bisa Keppres ini tidak perlu menyebut nama. Perjuangan pada masa perang kemerdekaan melibatkan banyak orang. Daripada timbul perpecahan, lebih baik tidak dicantumkan nama sama sekali,” tutur dia. (sumber-Padnagkita.com)