Edhy Prabowo ditangkap KPK dengan sangkaan menerima suap terkait ekspor benih bening lobster atau benur. Singkatnya, Edhy Prabowo diadili dan dituntut jaksa KPK untuk dihukum selama 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Edhy Prabowo diyakini jaksa terbukti menerima uang suap yang totalnya mencapai Rp 25,7 miliar dari pengusaha eksportir benur.
Kemudian hakim menjatuhkan vonis sesuai dengan tuntutan jaksa, yakni 5 tahun penjara. Di tingkat banding, hukuman Edhy Prabowo menjadi 9 tahun penjara.
Dan pada Rabu (9/3), Mahkamah Agung (MA) mengurangi 4 tahun vonis Edhy Prabowo dari Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta itu. Edhy Prabowo kembali dihukum 5 tahun penjara sesuai dengan tuntutan dan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengecam dasar pertimbangan hukum Mahkamah Agung (MA) dalam menjatuhkan vonis lebih ringan terhadap Edhy Prabowo.
“Ini bisa jadi preseden buruk, suatu putusan dengan alasan yang mengada-ada. Bagaimana mungkin jabatan yang baru diemban sekitar satu tahun dan kemudian ditangkap ketika selesai membelanjakan uang hasil korupsinya dikatakan telah bekerja dengan baik? Indikatornya apa?” kata Juru Bicara DPP PSI, Ariyo Bimmo dilansir dari kompas.com Kamis (10/3).
Putusan tersebut disebut telah memperpanjang daftar vonis rendah bagi koruptor sepanjang 2021-2022. Para koruptor yang telah divonis rendah antara lain itu Jaksa Pinangki, Djoko Tjandra, Juliari Batubara, RJ Lino, dan terakhir Azis Syamsuddin yang hanya divonis 3,5 tahun penjara.
“Sirna sudah asa akan hadirnya seorang Artidjo Alkotsar baru di Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung harus bekerja keras untuk bisa menghadirkan kembali wajah Mahkamah Agung yang menyeramkan bagi koruptor,” ujar Bimmo.
PSI juga melihat putusan ini bermuatan politis, ketika pidana tambahan pencabutan hak politik dikurangi dari 3 tahun (putusan banding), menjadi hanya 2 tahun dalam putusan kasasi MA.
“Semoga tidak pernah terjadi ada menteri yang mantan koruptor. Sementara di negara lain, menteri yang baru terindikasi korupsi mundur, di sini harus tertangkap dulu baru diberhentikan. Sangat menyedihkan,” imbuhnya.
Bimmo mengatakan, PSI sebenarnya sudah sangat senang ketika pada tingkat banding, hakim memberikan pertimbangan hukum bahwa perbuatan Edhy dinilai telah meruntuhkan sendi kedaulatan negara. PSI melihatnya sebagai suatu pertimbangan yang seharusnya diterapkan pada semua kasus korupsi.
“Daya rusak korupsi itu jelas, tapi seberapa berat hukuman yang dijatuhkan, itulah yang akan mencirikan apakah korupsi itu benar extraordinary crime atau sama saja dengan pidana lain. Peran peradilan dalam hal ini tak tergantikan,” ujar Bimmo.