Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) merespons polemik pernyataan Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko tentang hijab manusia gurun.
Direktur Utama LPDP Andin Hadiyanto memastikan Budi Santosa Purwokartiko sampai saat ini belum memberikan klarifikasi kepada LPDP terkait ujaran SARA dan kebencian yang diposting di media sosialnya. Andin mengimbau Budi memberi klarifikasi dan meminta maaf terkait ujarannya.
“Belum ada klarifikasi,” kata Andin dilansir dari detiknews.com, Minggu (1/5).
Meski begitu, Andin tetap meminta Budi Santosa Purwokartiko meminta maaf atas pernyataannya. Dia juga menyampaikan pihaknya akan mengevaluasi kelayakan yang bersangkutan sebagai pewawancara program beasiswa LPDP.
“Iya (diimbau minta maaf), dievaluasi lagi kelayakannya sebagai interviewer,” ucapnya.
Andin juga sempat menyampaikan apa yang disampaikan oleh Budi Santoso Purwokartiko merupakan opini pribadi. Menurutnya, tindakan tersebut akan mempengaruhi reputasinya sebagai interviewer di program beasiswa LPDP.
“Meskipun tulisan Saudara Budi Santosa Purwokartiko adalah opini pribadi, namun berpotensi menimbulkan risiko reputasi terhadap kegiatan ybs sebagai interviewer program beasiswa Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA), yaitu program untuk mendanai mahasiswa Indonesia yang melakukan mobilitas di universitas terkemuka di luar negeri selama kurang lebih satu semester,” ucapnya.
Sebelumnya, Rektor ITK Budi Santosa Purwokartiko dianggap rasis karena status di media sosialnya saat menceritakan pengalamannya sebagai pewawancara calon penerima beasiswa LPDP.
Berikut isi status Budi yang dinilai rasis itu:
“Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri, program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa, jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5% sisi kanan populasi mahasiswa,
Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan beberapa 3.8 dan 3.9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5 bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145 bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100), luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan dan asisten lab atau asisten dosen.
Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagainya. Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang.
Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada 2 cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada 2 tidak hadir, jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar openmind, mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.
Saya hanya berharap mereka nanti tidak masuk dalam lingkungan yang
– Membuat hal yang mudah jadi sulit
– Bekerja dari satu rapat ke rapat berikutnya tanpa keputusan
– Mementingkan kulit daripada isi
– Menyembah Tuhan tapi lupa pada manusia
– Menerima gaji dari negara tapi merusak negaranya
– Ingin cepat masuk surga tapi sakit tetap cari dokter dan minum obat
– Menggunakan KPI langit sementara urusannya masih hidup di dunia
Semoga tidak tercemar,” tulis Budi.