Usai memeriksa saksi dan meningkatkan duagaan kasus penyelewengan dana sosial atau CSR dikelola Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) memasuki babak baru. Polisi menemukan penggelapan dana sosial untuk korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 senilai Rp34 miliar.
Polisi menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah mantan Presiden ACT Ahyudin, Presiden ACT Ibnu Khajar, Ketua pengawas ACT pada 2019-2022 Heryana Hermai dan anggota pembina dan Ketua Yayasan ACT Novariadi Imam Akbari.
Polisi menjerat para tersangka pasal tindak pidana penggelapan dan/atau penggelapan dalam jabatan dan/atau tindak pidana informasi dan transaksi elektronik dan/atau tindak pidana yayasan dan/atau pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 KUHP, pasal 374 KUHP, pasal 45 A ayat 1 juncto pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang ITE.
Ahyudin Cs juga dijerat pasal 70 ayat 1 dan 2 juncto pasal 5 Undang-Undang Nomor 16/2001 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 28/2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16/2001 tentang Yayasan. Serta pasal 3, pasal 4, dan pasal 6 Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, serta yang terakhir pasal 55 KUHP junto pasal 56 KUHP.
“Ancaman penjara untuk TPPU 20 tahun dan penggelapan 4 tahun,” ujar Wadir Tipideksus Bareskrim Polri Kombes Helfi Assegaf, saat jumpa pers Senin (25/7).
Namun keempat tersangka belum ditahan polisi. Penahanan belum dilakukan lantaran polisi masih melakukan diskusi secara internal.
“Sementara kita masih akan melakukan diskusi internal, terkait masalah penangkapan maupun penahanan,” kata Helfi.
Selewengkan Dana Rp34 M, Ini Rinciannya
Helfi menjelaskan, dari hasil penyelidikan maraton kepolisian keempat tersangka terbukti melakukan penyelewengan dana bantuan Boeing mencapai Rp34 miliar. Sementara dana diterima ACT dari Boeing untuk korban Rp138 miliar.
“Total dana yang diterima oleh ACT dari Boeing kurang lebih Rp138 miliar. Digunakan untuk program yang telah dibuat oleh ACT kurang lebih Rp103 miliar dan sisanya Rp34 miliar digunakan tidak sesuai peruntukannya,” Helfi.
Helfi mengatakan, dana itu seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas pendidikan sesuai dengan rekomendasi para ahli waris korban. Namun rekomendasi itu tak dijalankan.
Dana sebesar Rp34 miliar malah digunakan untuk kepentingan terselubung. Salah satunya adalah membayar gaji para pengurus yang mencapai kisaran Rp 50-450 juta.
Gaji yang besar itu turut dinikmati para tersangka mantan eks Presiden ACT Ahyudin sekitar Rp400 juta. Kemudian Presiden ACT Ibnu Khajar Rp150 juta, serta dua tersangka lain Heriyana Hermain dan N Imam Akbari senilai Rp 50 juta dan Rp 100 juta.
Bukan cuma gaji fantastis, uang dari Boeing itu juga mengalir ke beberapa program seperti bantuan untuk koperasi syariah 212 senilai Rp10 miliar termasuk bantuan dana talangan untuk satu CV dan satu PT senilai Rp10 miliar.
“Untuk koperasi syariah 212 kurang lebih Rp10 miliar, kemudian untuk dana talangan CV CUN Rp3 miliar, selanjutnya kemudian dana talangan untuk PT MBGS Rp7,8 miliar sehingga total semuanya Rp34.573.069.200,” imbuh dia.
Para petinggi ACT itu bahhkan memakai uang untuk pengadaan armada truk kurang lebih Rp10 miliar. Kemudian program bigfood bus kurang lebih Rp2,8 miliar hingga pembangunan pesantren peradaban Tasikmalaya kurang lebih Rp8,7 miliar.
“Sehingga jika ditotal senilai Rp34 miliar,” ujar Helfi.
Polisi akan menelusuri aset para tersangka karena dijerat TPPU. Penelusuran ini akan berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Peran Para Tersangka
Adapun peran para tersangka yakni di antaranya Ahyudin yang merupakan pendiri sekaligus ketua Yayasan ACT dan Ketua Pembina pada 2019-2022. Ahyudin disebut polisi mendirikan Yayasan ACT untuk menghimpun dana donasi dan menjadi pengurus untuk mendapatkan gaji.
“Telah mendirikan sekaligus duduk dalam direksi dan komisaris agar dapat memperoleh gaji serta fasilitas lainnya,” ujar Karo Penmas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan.
Langkah Ahyudin itu terungkap berawal ketika 2015, bersama dengan tiga tersangka lainnya diduga membuat SKB pembina. Hal ini terkait pemotongan donasi sebesar 20-30 persen. Dengan dalih supaya potongan tersebut tetap dianggap sesuatu yang wajar.
Lantas, Ahyudin pun bersama para tersangka diduga membuat opini dewan syariah terkait pemotongan dana operasional dari dana donasi, termasuk menggerakkan ACT untuk mengikuti program dana bantuan Boeing.
“Tahun 2020 bersama membuat opini dewan syariah dan ACT tentang pemotongan dana operasional sebesar 30 persen dari dana donasi. Kemudian menggerakkan Yayasan ACT untuk mengikuti program dana bantuan Boeing terhadap ahli waris korban Lion Air JT-610,” ungkap Ramadhan.
Sedangkan peran Presiden ACT, Ibnu Khajar yang diketahui telah menjabat sejak 2019 memiliki andil besar kerja sama dengan Boeing terkait dana kemanusiaan kepada ahli waris korban Lion Air JT-610.
Ibnu Khajar dibantu oleh Novariadi Imam Akbari (NIA) yang merupakan anggota pembina dan Ketua Yayasan ACT. Imam disebut bertugas menyusun dan menjalankan program ACT.
“NIA menyusun program dan menjalankan program dan merupakan bagian dari dewan komite dan ACT yang turut andil menyusun kebijakan Yayasan ACT,” ujar Ramadhan.
Selanjutnya ada Hariyana Hermain yang disebut sebagai Ketua pengawas ACT pada 2019-2022. Dialah orang yang bertanggung jawab atas seluruh pembukuan dan keuangan ACT, termasuk soal pembukuan uang bantuan Boeing.
“Memiliki tanggung jawab sebagai HRD dan keuangan, di mana seluruh pembukuan dan keuangan ACT adalah otoritas yang bersangkutan. Pada periode IK selaku ketua pengurus HH menjadi anggota presidium yang menentukan pemakaian dana yayasan tersebut,” tutur dia. (sumber-Merdeka.com)