Pernyataannya soal polisi pelanggar disiplin di kasus Sambo agar dimaafkan, oleh Menko Polhukam Mahfud Md dikritik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Pernyataan ini dinilai sebagai bentuk intervensi terhadap proses penanganan perkara kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.
“Mahfud Md menyampaikan pernyataan tersebut dalam kapasitasnya sebagai seorang menteri yang memiliki fungsi koordinasi terhadap seluruh perangkat negara di bidang politik, hukum, dan keamanan. Sehingga pernyataan Menkopolhukam di tengah proses pemeriksaan kasus ini secara implisit merupakan bentuk intervensi terhadap proses,” kata pengacara Publik LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, dalam keterangannya, Minggu (21/8/2022).
Pernyataan Mahfud tersebut kata Fadhil dikhawatirkan ditafsirkan Polri secara langsung atau tidak langsung. Menurutnya, segala pernyataan publik tidak boleh disampaikan sembarangan, melainkan wajib memperhatikan peraturan undang-undang.
“Pemberian maaf terhadap anggota Polri yang terlibat dalam pembunuhan dan rekayasa kasus dengan alasan mendapatkan perintah atasan merupakan pernyataan yang keliru dan tidak berlandaskan hukum,” tutur Fadhil.
Apalagi kata Fadhil, berdasarkan Pasal 7 ayat (3) huruf c Perkap No. 14/2011 menyatakan bahwa setiap anggota Polri wajib menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan. Ini lantaran kata Fadhil, sanksi etik dan pidana bisa dikenakan pada perintah merekayasa kasus.
“Bahkan lebih dari itu, perintah untuk merekayasa kasus bukan saja pelanggaran disiplin dan etik, melainkan juga merupakan tindak pidana. Sehingga tidak terdapat alasan apapun untuk memberikan maaf terhadap anggota Polri yang terlibat dalam pembunuhan dan rekayasa kasus tersebut,” jelasnya.
“Pemberian maaf tanpa proses hukum lebih lanjut justru merupakan impunitas yang ironisnya didorong oleh seorang Menkopolhukam cum Guru Besar Hukum Tata Negara,” tambahnya.
Pihaknya meminta agar kasus pembunuhan Brigadir J diusut secara tegas terhadap anggota Polri yang terlibat melakukan rekayasa kasus. Namun, LBH menyoroti pernyataan Mahfud yang dinilai dapat melukai pihak keluarga korban.
“Sejak keterlibatan puluhan anggota Polri dalam rekayasa kasus pembunuhan Brigadir Josua, reformasi kepolisian semakin menunjukkan kegagalannya. Hal tersebut justru diperparah dengan sikap permisif Menkopolhukam terhadap praktik rekayasa kasus tersebut melalui pernyataannya,” jelasnya.
“Alih-alih mendorong pengungkapan kasus dan menunjukkan sikap tegas terhadap anggota Polri yang terlibat rekayasa kasus, ia justru mengeluarkan pernyataan problematik yang berpotensi mempengaruhi proses dan melukai hati keluarga korban. Seharusnya Mahfud MD selaku Menkopolhukam dapat berperan aktif bersama pemangku kebijakan lainnya dalam mendorong perubahan mendasar bagi tubuh Polri melalui reformasi kepolisian berkelanjutan,” imbuhnya.
Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut di atas, LBH Jakarta mendesak agar:
1. Menkopolhukam mencabut pernyataannya dan meminta maaf kepada publik dan keluarga Brigadir Josua;
2. Menkopolhukam berhenti mengeluarkan pernyataan yang tidak berpihak pada korban dan cenderung mendorong impunitas, termasuk namun tidak hanya terbatas dalam kasus kematian Brigadir Josua;
3. Presiden segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang terdiri dari perwakilan masyarakat sipil dengan keterwakilan yang memadai. Hal tersebut karena dari pernyataan Menkopolhukam terdapat dugaan mempengaruhi proses. Sehingga dikhawatirkan terjadi impunitas;
4. Sementara sebelum TGPF dibentuk, Kapolri tidak terpengaruh dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Menkopolhukam dengan dengan memerintahkan jajarannya agar melakukan pemeriksaan terhadap seluruh anggota Polri yang terlibat tidak hanya pada ranah disiplin dan etik, namun wajib memprosesnya secara pidana; dan
5. Kapolri mengumumkan hasil pemeriksaan secara etik dan disiplin yang telah dilakukan selama ini kepada publik. (sumber-Detik.com)