Panitera Pengadilan Negeri (PN) Palopo di Kelurahan Maroangin, Kecamatan Telluwanua, Senin (22/8/2022) melakukan eksekusi lahan. Eksekusi ini dikawal aparat kepolisian dan TNI karena sempat mendapat penolakan warga.
Sebanyak 10 rumah digusur dalam eksekusi lahan di Kota Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel). Ada 2 rumah di antaranya yang dibakar.
“10 rumah warga yang digusur, 2 rumah dibakar cuma tidak tau siapa yang bakar itu rumah ku, kalau yang satunya itu pemiliknya sendiri yang bakar,” kata Aswat, warga yang juga rumahnya ikut dieksekusi, Senin (22/8).
Aswat mengaku tidak tahu menahu rumahnya dibakar saat eksekusi lahan. Saat itu dirinya dan warga lainnya sedang mengamankan beberapa barang miliknya, tiba-tiba ia melihat kepulan asap yang berasal dari rumahnya.
“Kurang tahu ka’ juga kenapa itu rumah dibakar, semetara saya pindahkan barang-barang, terus tidak lama itu ada saya lihat asap dari arah rumah ku,” ungkapnya.
Pascapenggusuran, warga kemudian mendirikan tenda pengungsian di sekitar lokasi penggusuran. Beberapa warga juga mengungsi di rumah keluarganya.
“Sekarang ini cuma bisa dirikan tenda dulu untuk pengungsian, ada juga yang mengungsi di rumah keluarganya kasian,” jelasnya.
Tak hanya itu, tampak juga beberapa beberapa warga melakukan aksi galang donasi. Aksi tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan korban eksekusi lahan yang saat ini bermukim di tenda-tenda pengungsian.
“Kalau itu yang galang donasi, mereka kumpulkan untuk kebutuhan karena ada warga di situ tenda pengungsian yang juga berjaga-jaga, takutnya ada apa-apa jadi mereka berjaga di situ,” pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Gusma mengaku permasalahan tersebut sudah berlangsung selama 6 tahun. Ia kemudian mempersoalkan masalah tersebut sejak tahun 2021 lalu.
“Sudah lama mi, terakhir 2016 itu. Tahun lalu kami baru ada pergerakan sampai sekarang ini,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, warga setempat Gusma juga mengatakan untuk luas lahan yang dituntut oleh oknum penggugat juga dipermasalahkan. Gusma menyebut luas lahan tidak sesuai dengan data kepemilikan lahan yang dimiliki oleh warga setempat.
“Kalau luas lahan yang dia tuntut tidak terhitung luasnya, karena yang dia pakai itu pembelian pada zaman belanda yang tidak terhitung luasnya,” tuturnya.
Selain luas lahan, nomor surat juga menjadi permasalahan yang dipersoalkan oleh warga. Ia berdalih nomor surat yang dimilikinya bersama warga lain berbeda dengan yang dimiliki oknum penggugat lahan.
“Kemudian yang masuk tuntutan itu yang nomor suratnya, berbeda dengan yang kami punya dan nama kampungnya juga itu berbeda dengan yang dia tuntut,” pungkasnya. (sumber-Detik.com)