Seberapa Besar Kekuasaan Inggris terhadap Negara Persemakmuran?
Negara Persemakmuran Inggris menjadi sorotan setelah Raja Charles III naik takhta menjadi pemimpin baru Kerajaan Inggris menggantikan ibunda, Ratu Elizabeth II, yang wafat pada Kamis (8/9) lalu.
Selain memimpin Kerajaan Inggris, kenaikan takhta Charles III menjadikan raja berusia 73 tahun menjadi simbol kepala negara sekaligus ketua negara Persemakmuran.
Sampai saat ini, tercatat ada 56 negara Persemakmuran yang terletak dari Afrika, Eropa, Amerika, Asia, hingga Pasifik dengan total 2,5 miliar penduduk.
Namun, hanya ada 15 negara Alam Persemakmuran di antaranya Selandia Baru, Australia, Inggris Raya, dan Kanada.
Terlepas dari itu, sebetulnya seberapa besar pengaruh Inggris terhadap negara Persemakmuran?
Negara Persemakmuran adalah asosiasi negara-negara yang sebagian besar bekas jajahan Kerajaan Inggris di masa lalu. Rata-rata puluhan negara itu secara sukarela memilih mempertahankan ikatan dengan Kerajaan.
Persemakmuran terbagi menjadi dua, yaitu “Negara Persemakmuran” dan “Alam Persemakmuran”.
Negara yang masuk dalam Alam Persemakmuran mengakui raja atau ratu Inggris sebagai kepala negara mereka. Sementara itu, Negara Persemakmuran tidak mengakui raja/ratu sebagai kepala negara. Mereka hanya menganggap raja/ratu sebagai ketua Persemakmuran.
Menurut situs Kerajaan Inggris, Persemakmuran tercipta setelah masa kolonialisme untuk mendorong kerjasama internasional dan hubungan perdagangan antara negara-negara bekas pendudukan Kerajaan Inggris di seluruh dunia.
Berabad-abad lalu, Kerajaan Inggris mutlak menguasai negara-negara persemakmuran. Namun, setelah negara-negara persemakmuran merdeka, Raja dan Ratu Inggris berperan sebagai kepala negara atau hanya simbol negara saja.
Sebagai Kepala Persemakmuran, Ratu atau Raja Inggris memainkan peran simbolis dan pemersatu yang penting, memperkuat hubungan antara negara Persemakmuran untuk menyatukan orang-orang di seluruh dunia.
Itu artinya, Raja atau Ratu Inggris kini tidak lagi memerintah, tapi hanya memimpin saja. Perbedaan utama yaitu Raja atau Ratu Inggris tidak dapat mengeluarkan dekrit atau aturan hukum apa pun di negara persemakmuran.
Banyak ahli berpandangan Raja dan Ratu Inggris kini hanya sebagai “boneka” atau simbol saja.
Raja atau Ratu Inggris tetap menjadi kepala tituler Gereja Inggris dan angkatan bersenjata negara itu. Seperti dijelaskan di situs resmi royal.uk, tugas utama raja adalah menjalankan tugas konstitusional dan perwakilan yang diterapkan lebih dari 1.000 tahun sejarah Inggris. Singkatnya, untuk status seremonial saja.
“Meskipun pemimpin Kerajaan Inggris tidak lagi memiliki peran politik atau eksekutif, dia terus memainkan peran penting dalam kehidupan bangsa,” kata situs tersebut.
“Pemimpin Kerajaan fokus sebagai identitas nasional, persatuan dan kebanggaan; memberikan rasa stabilitas dan kontinuitas; secara resmi mengakui keberhasilan dan keunggulan; dan mendukung cita-cita pemerintah secara sukarela. Dalam semua peran ini pemimpin kerajaan didukung oleh anggota langsung mereka. Keluarga.”
Juru Pemesatu-Diplomasi Inggris
Di zaman dekolonisasi setelah Perang Dunia II, puluhan negara merdeka dari Kerajaan Inggris. Banyak di antaranya, termasuk India, Nigeria, dan Pakistan, menyatakan kemerdekaan dan menjadi negara republik. Dengan begitu, negara-negara ini sepenuhnya menghapus Kerajaan Inggris dalam sistem pemerintahan.
Meski begitu, beberapa negara bekas jajahan Kerajaan Inggris dan anggota Persemakmuran ini tetap mempertahankan monarki sebagai sumber legitimasi dan stabilitas politik yang berharga. Negara-negara Persemakmuran ini melihat Raja dan Ratu Inggris memberikan simbol persatuan nasional dan konstitusional nyata dan tak memihak.
Sementara itu, dikutip dari situs lembaga think-thank Council on Foreign Relations, bagi pemerintah Inggris sendiri, peran Ratu dan Raja Inggris di negara-negara Persemakmuran ini menjadi salah satu kunci soft power dan diplomasi dalam kebijakan luar negeri.
Kekuasaan Raja Charles III di Alam Persemakmuran
Negara Alam Persemakmuran adalah monarki konstitusional, di mana kekuasaan raja sebagian besar bersifat simbolis. Sementara itu, urusan eksekutif, legislatif, dan keputusan politik dibuat oleh parlemen terpilih yang dipimpin oleh perdana menteri.
Dengan demikian, Raja adalah kepala negara tetapi bukan kepala pemerintahan. Artinya, mereka Raja atau Ratu Inggris tidak terlibat dalam pemerintahan sehari-hari.
Raja Inggris memang memiliki beberapa tugas konstitusional, yang paling signifikan adalah persetujuan pemerintah baru. Seorang raja juga dapat secara resmi menyetujui undang-undang, menunjuk pejabat tertentu, atau memberikan kehormatan negara. Di luar Inggris, perwakilan kerajaan yang dikenal sebagai gubernur jenderal ditunjuk untuk melaksanakan tugas ini.
Dalam situasi luar biasa, Raja dan Ratu Inggris juga memiliki apa yang dikenal sebagai “kekuasaan cadangan”, atau wewenang untuk secara sepihak mengesampingkan pemerintah terpilih. Namun, situasi ini langka terjadi sejak Perang Dunia II.
Contoh paling menonjol adalah ketika krisis konstitusional Australia terjadi pada 1975, di mana gubernur jenderal memberhentikan seorang perdana menteri yang sedang menjabat.
Pengaruh Kerajaan Inggris Berkurang di Era Raja Charles III?
Sejumlah pengamat menilai kepergian Ratu Elizabeth II yang telah memimpin Kerajaan Inggris dan Negara Persemakmuran selama 70 tahun bisa menyebabkan popularitas dan rasa hormat terhadap kerajaan di kalangan persemakmuran ikut merosot.
Selain itu, popularitas Charles yang rendah akibat beragam kontroversinya dan tuduhan rasisme di kalangan keluarga kerajaan juga dinilai dapat merusak citra dan peran global monarki Inggris di dunia.
Meski begitu, mengingat peran-peran pemimpin Kerajaan Inggris, banyak pengamat politik internasional menilai tidak akan ada perubahan signifikan di kalangan negara Persemakmuran setelah Raja Charles III berkuasa.
Namun, beberapa ahli lainnya meramalkan suksesi Kerajaan Inggris ini dapat membangkitkan kembali gerakan negara-negara Alam Persemakmuran untuk “merdeka sepenuhnya” dari monarki dengan membentuk negara republik.
Antigua dan Barbuda, Jamaika, hingga Belize telah mengumumkan bahwa mereka bermaksud untuk meninggalkan monarki. Australia, Kanada, hingga Selandia Baru juga mengisyaratkan langkah serupa namun tidak dalam waktu dekat. (sumber: CNNIndonesia.com)