Banyak permasalahan selama menangani kasus Obstruction of Justice kasus Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J. Hal ini dikarenakan banyak mafia penegakan hukum yang ikut campur tangan. Hal ini diungkap Wakil ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Menurut saya, kita tidak hanya harus mengkhawatirkan soal OOJ, tapi juga tentang mafia hukum tentang kebijakan kriminal, yang selama ini masih nampak dalam hari kita dalam proses penegakan hukum,” ucap Edwin saat acara diskusi di Hotel Gran Mahakam, Selasa (28/9).
Edwin mengatakan, mafia hukum tersebut kerap kali membuat penegakan hukum di Indonesia bermasalah dan cenderung koruptif. Seperti di kasus Duren Tiga berdarah, LPSK mencermati kejanggalan dalam peristiwa tersebut.
Sebab, pada Laporan (LP) kepolisian yang muncul ada dua laporan yaitu laporan percobaan pembunuhan dan laporan pelecehan seksual, sementara laporan kematian tidak dimuat.
“Ada tiga peristiwa, tapi hanya dua yang jadi sorotan. Ada dua LP yg lahir dari peristiwa 8 juli, yaitu LP A tentang percobaan pembunuhan dan LP ancaman kekerasan dan atau kekerasan seksual,” ujarnya.
Kemudian, dia mengaku memiliki banyak catatan selama penanganan kasus brigadir J. Ketika kejanggalan terbongkar, kerap kali lembaga tersebut mencari pembenaran atau mencari pemakluman dengan mengatakan dengan pernyataan ‘Oknum’.
“Problemnya menurut saya, ada enggak upaya serius untuk menempatkan mereka yang bersih berintegritas dalam posisi penting itu?,” tanya Wakil LPSK.
Menurutnya, bila suatu lembaga yang pada akhirnya hanya mempersoalkan ‘oknum’ tersebut hal tersebut terkesan alasan belaka. Bahkan dirinya menyindir kepada pihak – pihak yang kerap menebar kepada suatu instansi.
“Tanpa adanya upaya mengakhiri sindikasi dan penempatan orang – orang tertentu ini hanya retorika saja, sementara di tempat lain juga ada lembaga yang kerjanya hanya menabur puja puji kepada X ini,” tegas Edwin Partogi. (sumber-Merdeka.com)