Eropa diprediksi dapat mengalami musim dingin ekstrem dengan lebih sedikit angin serta hujan dari biasanya. Hal itu diungkapkan badan prakiraan cuaca Eropa.
Hal ini menambah tantangan bagi pemerintah yang mencoba menyelesaikan krisis energi di benua itu.
Florence Rabier, direktur jenderal Pusat Prakiraan Cuaca Jangka Menengah Eropa (ECMWF), mengatakan indikasi awal untuk November dan Desember adalah periode tekanan tinggi di Eropa Barat.
Ia mengatakan kondisi ini kemungkinan akan membawa serta musim yang lebih dingin dan lebih sedikit angin dan curah hujan, sehingga mengurangi pembangkitan energi terbarukan.
Prakiraan tersebut, yang didasarkan pada data dari ECMWF dan beberapa sistem prediksi cuaca lainnya termasuk yang ada di Inggris, Amerika Serikat (AS), Prancis, dan Jepang, merupakan masalah potensial bagi pembuat kebijakan saat mereka mencoba mencari jalan keluar dari krisis energi.
“Jika kita memiliki pola ini maka untuk energinya cukup menantang karena tidak hanya sedikit lebih dingin, tetapi juga Anda memiliki lebih sedikit angin untuk tenaga angin dan lebih sedikit curah hujan untuk tenaga air,” katanya, dikutip dari Financial Times, Senin (3/10/2022).
Adapun, Uni Eropa (UE) telah berjanji untuk menghentikan penggunaan gas Rusia pada 2027 dengan melakukan diversifikasi ke energi terbarukan dan mengejar kesepakatan gas dengan negara lain. Ekspor gas dari Rusia ke UE telah turun dari sekitar dua perlima dari total pasokan menjadi 9% sejak serangannya ke Ukraina pada Februari.
Rabier mengatakan badai belum lama ini melintasi Atlantik dapat menyebabkan cuaca yang lebih ringan, lebih basah, dan lebih berangin dalam jangka pendek. Namun, cuaca yang lebih dingin di akhir tahun akan konsisten dengan kondisi atmosfer yang dikenal sebagai La NiƱa, pola cuaca yang berasal dari pendinginan permukaan Samudra Pasifik, yang mendorong perubahan pola angin dan curah hujan di berbagai wilayah.
Pemanasan global juga mengubah sifat peristiwa cuaca ekstrem seperti angin topan, sehingga menjadi lebih sering dan intens karena kenaikan suhu global setidaknya 1,1 celcius sebagai akibat dari aktivitas manusia sejak zaman pra-industri.
Cuaca di Eropa juga biasanya sulit diprediksi karena kondisinya ditentukan oleh beberapa faktor jarak jauh, termasuk angin di stratosfer tropis dan tekanan permukaan melintasi Atlantik.
Rabier mengatakan Eropa sudah dalam keadaan rapuh setelah mengalami salah satu musim panas terpanas yang pernah tercatat, dengan suhu di atas 1,7 derajat celcius pada Agustus lebih tinggi dari rata-rata dari tahun 1991 hingga 2020 dan terutama kondisi tanah kering.
Pangsa pembangkit listrik tenaga angin dan tenaga air di Eropa juga menurun pada musim panas ini sebagai akibat dari cuaca yang lebih panas dan lebih kering.
Peristiwa cuaca yang lebih ekstrem yang disebabkan oleh pemanasan global seperti siklon tropis dan gelombang panas pun lebih sulit diprediksi kata kepala ECMWF.
Sumber : CNBC Indonesia