Penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian diduga menjadi penyebab ratusan orang meninggal dunia pada tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, usai laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10) malam.
Perintah penembakan gas air mata berada di tangan Komandan Satuan Penindakan Huru-Hara (PHH) Brimob Polri.
Hal itu berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru-Hara (PHH), Pasal 11 ayat 1 butir b memaparkan cara aparat bertindak dalam PHH.
Dalam Pasal 11 ayat (1) dijelaskan cara bertindak dalam penanganan huru-hara. Awalnya, Komandan Satuan PHH Brimob Polri memberikan imbauan kepolisian secara lugas, tegas, sistematis sebanyak tiga kali terhadap pelaku aksi huru-hara. Hal itu dilakukan usai formasi satuan PHH terbentuk.
“Apabila imbauan kepolisian tidak dihiraukan oleh pelaku aksi huru-hara, Komandan Satuan PHH Brimob Polri memerintahkan dan memberikan aba-aba kepada satuan PHH Brimob Polri,” bunyi Pasal 11 ayat (1) huruf b.
Perintah yang dimaksud berupa; 1. Pendorongan massa; 2. Penyemprotan air dengan menggunakan water canon; 3. Penembakan gas air mata; 4. Pemadaman api bila terjadi pembakaran; 5. Penangkapan terhadap provokator atau agitator, apabila dipandang perlu; 6. dan/atau pemasangan barikade dengan kawat barier atau auto barricade.
Sementara itu, Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) telah melarang penggunaan gas air mata dalam pertandingan sepak bola.
Hal tersebut tertuang dalam aturan FIFA Stadium Safety and Security Regulations Pasal 19b.
“No fire arms or crowd control gas shall be carried or used [Tidak boleh membawa atau menggunakan senjata api atau gas air mata],” jelas aturan tersebut.
Diketahui, Pasal 19 membahas tentang aturan petugas lapangan dan polisi dalam menjaga ketertiban di stadion saat pertandingan.
Tragedi Kanjuruhan berawal dari pendukung Arema FC yang tidak terima tim yang didukungnya kalah 2-3 dari Persebaya Surabaya.
Sejumlah pendukung Arema turun dari tribun penonton ke tengah lapangan. Karena situasi makin kacau, kepolisian menghadang penonton dan kemudian menembakkan gas air mata.
Kendati demikian, gas air mata bukan hanya ditembakkan ke arah pendukung yang turun ke lapangan saja tapi juga ditembakkan ke tribun penonton. Para penonton pun panik.
Imbasnya, massa berdesak-desakan ke luar dari stadion. Banyak penonton mengalami sesak napas, terjatuh, dan terinjak-injak hingga tewas.
Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afianta pun mengakui setelah penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian, para penonton berlarian ke pintu keluar.
“Karena gas air mata itu, mereka pergi keluar ke satu titik, di pintu keluar. Kemudian terjadi penumpukan dan dalam proses penumpukan itu terjadi sesak napas, kekurangan oksigen,” kata Nico dikutip Antara, Minggu (2/10).
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai tindakan aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke tribun penonton tidak bisa dibenarkan.
Menurut dia, polisi mestinya menenangkan atau membubarkan massa yang ada di lapangan cukup menggunakan water canon.
“Penyemprotan cukup dilakukan dengan water canon, itu pun pada pelaku anarkis yang berada di lapangan. Bukan pada penonton di tribun. Akibat semprotan gas ke tribun itulah yang menyebabkan banyaknya korban karena kepanikan akibat chaos yang dipicu oleh efek gas air mata,” jelas Bambang.
Lebih lanjut, Ia mengatakan kekacauan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan adalah bentuk kegagalan polisi menjalankan standar prosedur operasional (SOP). Bambang menilai polisi tidak punya rencana cadangan menghadapi situasi di lapangan yang dinamis.
“Adanya korban yang masif sampai 125 orang meninggal dan ratusan luka-luka, artinya SOP yang dijalankan gagal,” kata Bambang.
Jumlah 125 orang meninggal tersebut berdasarkan data Polri. Sedangkan data Dinas Kesehatan Malang menyebut jumlah korban meninggal yaitu 131 orang.
Sementara jumlah yang dicatat Aremania, pendukung Arema FC, mencapai lebih dari 200 orang.
Sumber: CNN Indonesia