Tragedi kanjuruhan memakan korban ratusan jiwa, bahkan kebanyakan anak-anak. Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menduga ada unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat dalam Tragedi Kanjuruhan, Malang.
Julius menyebut dalam tragedi itu ada upaya yang dilakukan secara sistematis hingga korbannya massif. Oleh sebab itu, menurutnya, tragedi Kanjuruhan harus diusut secara tuntas.
“Ada upaya sistematis dari insiden diserangnya suporter sampai ratusan meninggal, ada upaya membersihkan bukti-bukti. Negara harus turun, Presiden Joko Widodo harus turun, ada unsur pelanggaran HAM,” kata Julius dalam konferensi pers, Rabu (5/10).
“Tinggal diidentifikasi apakah ada komando sehingga memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Konteks pelanggaran HAM kuat sekali, sehingga perlu diusut,” imbuhnya.
Julius memandang ada kecenderungan penembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan berdasarkan perintah atasan dan ada unsur kesengajaan.
Pasalnya, gas air mata disemprotkan oleh aparat mengarah ke kerumunan penonton. Julius menilai hal itu bukan untuk mengamankan penonton, melainkan melukai.
“Sebelum penembakan gas air mata apakah sudah ada tahapan untuk dinamisasi massa yang crowded, kenapa tidak keluar, digiring keluar perlahan, kenapa tidak persuasif, peringatan verbal, lisan,” ujarnya.
“Kalau gas air mata langsung ke tengah badan penonton, dan di situ kita bisa lihat di antara mereka ada yg menggendong anak kecil, itu sudah jelas-jelas tujuannya bukan melumpuhkan tapi melukai,” lanjutnya.
Selain itu, tembakan gas air mata juga tidak ditujukan pada satu titik dan sasaran, melainkan hampir ke semua arah. Julius berpandangan bahwa hal itu menunjukkan ada unsur komando.
“Maka ini ada unsur komando. Pertama dia menggunakan, kedua ditembakkan sengaja dengan ritme yang sama. Ini yang perlu dicari ke depannya,” ucap dia.
Namun demikian, Julius menegaskan bahwa dugaan adanya unsur komando itu haru ditelusuri lebih jauh. Jika terbukti, maka si pemberi komando harus dihukum pidana.
“Saya lihat ini tidak sesederhana tindak pidana atau etik belaka. Membunuh orang itu bukan persoalan etika,” tuturnya.
“Kalau sudah ada unsur kesengajaan, tadi ada keserentakan dalam menindak, dalam menembak gas air mata, yang belum diketahui apakah ini ada komandonya. Apakah ada komando di atasnya terhadap keduanya?” imbuhnya.
Tragedi Kanjuruhan bermula saat polisi menembakkan gas air mata kepada para penonton sepak bola. Polisi mengklaim gas air mata itu ditembakkan karena para pendukung Arema kecewa dengan kekalahan timnya.
Gas air mata itu ditembakkan tidak hanya kepada para suporter di lapangan, tetapi penembakan juga diarahkan ke penonton di tribun sehingga membuat massa panik. Penonton pun berlarian dan berdesak-desakan menuju pintu keluar.
“Karena gas air mata itu, mereka pergi keluar ke satu titik, di pintu keluar. Kemudian terjadi penumpukan dan dalam proses penumpukan itu terjadi sesak napas, kekurangan oksigen,” kata Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afianta dikutip Antara, Minggu (2/10).
Banyak di antaranya yang sesak nafas dan terinjak-injak. Setidaknya lebih dari 125 orang dilaporkan tewas dengan ratusan lainnya luka-luka akibat kerusuhan tersebut.
Presiden Jokowi sendiri telah menengok sejumlah pasien yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan di RS Saiful Anwar Malang, Jawa Timur, Rabu (5/10).
Jokowi memerintahkan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) untuk bekerja lebih cepat mengusut tragedi yang menewaskan 131 orang yang mayoritas adalah suporter Arema.
“Kurang dari sebulan saya minta, secepatnya, karena ini barang kelihatan semua,” ujar Jokowi. (sumber-cnnindonesia.com)