Konstelasi politik Malaysia makin memanas. Perdana Menteri (PM) Malaysia Ismail Sabri Yaakob memutuskan untuk membubarkan parlemen negara itu pada Senin, (10/10/2022).
Pembubaran ini disebabkan oleh susunan koalisi yang tidak stabil. Ini akhirnya membawa kelompok oposisi Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) untuk berhasil menggoyang koalisi Ismail.
“Amanat rakyat merupakan penangkal ampuh bagi negara untuk mewujudkan stabilitas politik dan menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil dan dihormati setelah pemilihan umum,” kata Ismail dikutip The Guardian.
Hal ini membuat dinamika politik negara itu terpengaruh. Dengan adanya pengumuman ini, Komisi Pemilihan (EC) harus bertindak dan mengumumkan tanggal pendaftaran dan pemungutan suara. Pemilihan harus diadakan dalam waktu 60 hari sejak tanggal pembubaran atau paling lambat 9 Desember.
Untuk masa kampanye adalah periode antara tanggal pencalonan dan tanggal pemungutan suara yang diumumkan oleh EC. Adapun bagi partai politik, mereka kemudian harus mempersiapkan diri untuk mencalonkan calonnya untuk maju dalam pemilihan umum.
Terkait pemerintahan sementara, tidak ada ketentuan itu dalam Konstitusi Malaysia. Artinya, pemerintahan petahana secara otomatis akan menjadi pemerintahan caretaker hingga pemimpin baru terpilih setelah pemilu.
Dalam soalan sistem pemerintahan, ada perubahan terkait perkembangan undang-undang. Pasalnya, dengan pembubaran parlemen, tidak ada undang-undang baru yang akan disahkan dan tidak ada kebijakan baru yang akan ditandatangani oleh menteri mana pun.
Semua RUU akan ditunda dan tidak akan ada sidang Majelis Tinggi dan Majelis Rendah Parlemen. Sedangkan untuk APBN 2023, perlu adanya diskusi lagi setelah pemilu karena pemerintahan baru tidak akan terikat dengan Anggaran yang diajukan oleh pemerintah sebelumnya.
Meski begitu, Aparatur Sipil Negara, bersama dengan semua otoritas seperti kepolisian, akan terus berfungsi sebagaimana mestinya.
Sumber : CNBC Indonesia