Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia (BI) kompak membagikan peringatan bahaya tentang kondisi ekonomi dunia hingga 2023 mendatang.
Dalam membuka pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara anggota G20 di Washington DC, Amerika Serikat (AS), Sri Mulyani mengungkapkan bahwa kondisi global pada 2022 tidak baik-baik saja dan kemungkinan kondisi ini akan berlanjut pada tahun depan.
“Kita bisa memproyeksikan bahwa situasi global ini pada 2022 dan mungkin bisa berlanjut hingga 2023.” ungkapnya.
“Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa dunia dalam keadaan bahaya,” tegasnya.
Hal ini terjadi karena dunia menghadapi kenaikan laju inflasi, krisis pangan dan energi, pertumbuhan ekonomi melambat, perubahan iklim, dan kondisi geopolitik yang panas akibat perang Rusia dan Ukraina.
“Perang, lonjakan harga komoditas, peningkatan inflasi dan suku bunga global, serta pengetatan likuiditas meningkatkan risiko tekanan. Kesulitan ini tidak hanya dialami negara berpenghasilan rendah, tetapi juga negara berpenghasilan menengah dan bahkan negara maju,” paparnya.
Oleh karena itu, dia mendorong tindakan kolektik dari anggota G20 yang memiliki peran penting dalam perekonomian dunia.
Di dalam kesempatan berbeda, Gubernur BI Perry Warjiyo mengingatkan bahwa dunia dalam kekacauan.
“Lihat lah dunia, kita sekarang sedang menghadapi kekacauan global, stagflasi, inflasi yang sangat tinggi. Karena komoditas energi dan pangan tidak didistribusikan secara merata di seluruh dunia,” jelas Perry.
Selama 2,5 tahun dunia dilanda pandemi, menurut Perry itu merupakan tonggak awal peradaban manusia untuk memasuki era ‘new normal’ atau kebiasaan normal baru. Semua aktivitas menjadi lebih efisien dan produktif lewat digitalisasi.
Oleh karena itu, Indonesia harus melakukan transformasi ekonomi. Dia membagikan tiga hal yang penting dalam menjalankan transformasi ekonomi.
Pertama, mengubah ukuran kemajuan ekonomi yang bukan hanya berorientasi pada pertumbuhan, namun mengubah ukuran kemajuan ekonomi dengan melakukan industrialisasi.
Kedua, transformasi ekonomi harus dilakukan tanpa harus merusak lingkungan. Keseimbangan ekonomi dan lingkungan, menurut Perry harus beriringan.
“Kemajuan ekonomi tidak bisa hanya mengukur seberapa besar pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang maju, tapi bagaimana optimalisasi pertumbuhan PDB dengan menjaga kelestarian lingkungan, yang disebut ekonomi hijau,” jelas Perry.
Transformasi ekonomi ketiga adalah pemerataan distribusi komoditas, terutama energi dan pangan. Pertumbuhan ekonomi juga harus merata.
Sumber : CNBC Indonesia