Menjadi juara dunia badminton adalah mimpi indah yang bisa lantang diucapkan, tapi sulit dan penuh liku untuk diwujudkan.
Sebagai negara yang dikenal punya tradisi kuat di badminton dari dekade ke dekade, bisa dikatakan Indonesia punya bibit-bibit untuk olahraga ini akan terus mengalir dari tahun ke tahun, dari era ke era.
Di sisi lain, dengan jumlah atlet yang terdaftar nyaris 60 ribu –berdasarkan data di situs PBSI– dan tentu lebih banyak dengan nama-nama lain yang belum terdaftar, persaingan menuju podium juara di level dunia bak jalan yang penuh liku.
Untuk bisa masuk ke klub-klub besar di Indonesia saja, seorang anak butuh perjuangan besar. Persaingan menuju klub elite sangatlah ketat.
Dari ratusan hingga ribuan peminat, hanya ada maksimal puluhan yang diterima tiap tahunnya. Karena itu dasar-dasar badminton sudah harus diletakkan sejak usia dini sebagai bekal agar anak bisa lolos seleksi di klub besar.
Seorang atlet bisa saja berkarier mandiri atau di klub lain bila tak diterima di klub besar. Namun untuk mewujudkan hal tersebut, biasanya akan lebih banyak kocek pribadi yang dibutuhkan.
Klub-klub besar yang punya tradisi dari tahun ke tahun, bakal menanggung biaya untuk mengikuti kompetisi kelompok umur skala nasional. Sedangkan di luar itu, bisa jadi pemain harus menanggung biaya sendiri untuk mengikuti turnamen.
Setelah bisa rutin mengikuti turnamen nasional, sang pemain harus bisa menunjukkan prestasi yang mengkilap. Jangka waktu untuk penentuan nasib pun terbilang singkat.
Ketika atlet sudah masuk kategori taruna (17-19 tahun), periode tersebut jadi penentuan masa depan sang atlet. Bila atlet menunjukkan prestasi, ia bisa dilirik masuk ke Pelatnas Cipayung. Namun andai saat usia 19 tahun ia tak juga mendapat panggilan, pintu untuk masuk ke Pelatnas Cipayung makin kecil,meski tak menutup kemungkinan ada beberapa momen atlet dipanggil ke Pelatnas Cipayung saat sudah masuk kategori dewasa.
Dalam lima tahun terakhir, setiap tahunnya atlet anyar yang dipanggil ke Pelatnas Cipayung tidak pernah lebih dari 30 orang dari lima nomor yang ada. Sementara secara total, biasanya ada sekitar 80 hingga 90 atlet dalam satu periode, dengan sejumlah atlet dilepas jika tak menunjukkan perkembangan.
Hal tersebut jadi gambaran betapa beratnya persaingan untuk bisa masuk ke Pelatnas Cipayung.
Setelah menginjakkan kaki di Pelatnas Cipayung, sang atlet harus bertarung dengan rekan sepelatnas dan tidak lagi memandang batasan umur. Persaingan akan lebih keras dan ketat, mulai dari internal hingga saat mereka harus saling sikut dengan atlet dari negara lain.
Seorang atlet bisa saja berkiprah di luar Pelatnas Cipayung, namun lagi-lagi hal tersebut membutuhkan dana besar. Bila masuk jadi anggota Pelatnas Cipayung, seluruh kebutuhan bakal dipenuhi sehingga atlet bisa fokus berlatih tanpa dipusingkan masalah biaya.
Tekanan tinggi yang dijalani atlet sejak kecil hingga dewasa tak pelak menimbulkan faktor kejenuhan. Hal ini diakui oleh Kepala Pelatih PB Djarum Fung Permadi.
“Kejenuhan jadi salah satu kendala paling besar. Anak-anak berlatih setiap hari di lapangan badminton, mereka menghabiskan sebagian besar harinya di lapangan,” ucap Fung Permadi.
“Lalu bisa juga berkaitan dengan hasil. Seorang pemain sudah mencoba secara maksimal, tetapi hasil pertandingan kurang baik. Sudah mencoba seperti apapun, tetap mentok. Itu bisa jadi salah satu faktor,” katanya melanjutkan.
Selain itu sejumlah tantangan lain yang dihadapi adalah perasaan homesick karena jauh dari orang tua dan perkembangan usia yang terkadang membuat atlet muda berubah pandangan soal badminton sebagai jalan hidup.
“Kalau untuk tahun-tahun awal homesick jadi kendala. Biasanya ada yang nangis. Tetapi kita beri pemahaman sampai akhirnya bisa mengatasi hal itu.”
“Sedangkan hal lain yang dialami oleh atlet adalah masa puber. Masa puber terkadang membuat perubahan cara pandang dan berpikir,” tutur Fung Permadi.
Sumber : CNN Indonesia