Pembinaan badminton di Indonesia, dari dekade ke dekade, tidak selalu berjalan mulus. Sejumlah masalah pernah dan masih mengadang.
Salah satu masalah klasik yang sering muncul adalah perihal pencurian umur yang memang sering terjadi di dunia olahraga Indonesia. Biasanya ini dilakukan dengan mendokumentasikan usia atlet lebih muda dibandingkan usia sebenarnya.
Ketua PB Djarum Yoppy Rosimin mengakui praktek-praktek pencurian umur masih terjadi. PB Djarum bahkan pernah jadi pihak yang kecolongan dengan aksi ini.
“Pernah beberapa kali. Biasanya mencuri umur 1-2 tahun. Kami dirugikan itu. Ada yang mengubah akta [saat anaknya sudah besar], ada juga yang aktanya diubah data-nya sejak anaknya lahir,” ucap Yoppy.
Misal seorang anak berusia 16 tahun, namun ia melakukan pencurian umur sehingga punya dokumen bahwa ia berumur 14 tahun. Hal itu membuat dirinya masih bisa bermain di kategori pemula, padahal seharusnya ia sudah bermain di kategori remaja.
Pencurian umur dalam dunia badminton terbilang terencana. Bahkan bila mengubah data akte sejak akte itu kali pertama diterbitkan, hal itu berarti orang tua pemain punya andil sejak awal untuk berlaku curang.”Kami tahu dari tanya ke tetangga si atlet, tetangganya ada yang bilang ternyata lahirnya tahun sekian [lebih tua dari usia yang dicantumkan],” ujar Yoppy.
Walaupun kecewa dengan masih timbulnya praktek pencurian umur, Yoppy memilih tak setuju terhadap sanksi berat dan larangan bertanding pada atlet muda yang melakukan pencurian umur.
“Saya tidak setuju karena seharusnya tidak boleh menghukum anak yang masih usia muda. Pernah dibahas di PBSI, saya mengutarakan itu tetapi PBSI sudah pada keputusannya.”
“Menurut saya bila ada anak usia 15 tahun mengaku berumur 13 tahun, lebih baik dihukum dengan bermain di kategori atasnya. Misal dia jadi harus main di kategori 19 tahun [taruna],” tutur Yoppy.
Hukuman tersebut menurut Yoppy dirasa lebih adil karena tidak benar-benar mematikan kesempatan atlet untuk tetap bermain.
“Jadi dia merasakan bertanding menghadapi lawan yang tidak seumuran. Karena sebelumnya dia merasakan lawan yang usia di bawahnya, sekarang dia merasakan bagaimana saat menghadapi lawan yang lebih tua.”
“Sedangkan untuk orang tua atau pelatih yang bersangkutan, hukumannya baru berupa denda,” kata Yoppy.
Ketua SGS Taufik Hidayat menyebut perilaku pencurian umur ini tak lepas dari peran orang tua. Karena itu Taufik meminta orang tua untuk jujur.
“Kami punya data soal itu [identitas anak]. Tinggal dari orang tuanya saja yang harus jujur soal umur anaknya,” tutur Taufik.
Ketua PB Suryanaga, Yacob Rusdianto, meyakini bahwa kasus pencurian umur saat ini sudah jauh berkurang bila dibandingkan dekade-dekade sebelumnya.
“Saya tidak berani mengatakan bahwa kasus pencurian umur ini sudah hilang, tetapi saya yakin bahwa kasus seperti ini sudah jauh berkurang. Bahkan mungkin tinggal satu persen bila dibandingkan sebelumnya,” tutur Yacob.
Yacob yang juga pernah berperan sebagai pemandu bakat menceritakan bahwa banyak trik yang dilakukan oknum orang tua untuk melakukan tindakan pencurian umur.
“Ada yang melakukan kecurangan saat pendaftaran di Dinas Kependudukan. Jadi misal anaknya sudah dua tahun lahir baru dibuatkan akta. Itu berarti catatan di akta lebih muda dua tahun.”
“Rata-rata menurut saya pencurian umur itu mengambil di 1-2 tahun lebih muda. Karena bila lebih dari itu, bisa kelihatan dari segi tampilan,” ucap Yacob.
Curang di Perjalanan
Dengan modus memalsukan akta di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, terlihat orang tua sudah berniat sejak awal mendorong sang anak jadi atlet dengan berlaku curang.
Namun ada pula yang niat “mencuri umur” baru mencuat dalam perjalanan. Biasanya mereka menggunakan modus akta palsu atau menggunakan akta atas nama adik sang pemain yang lebih muda.
“Akta palsu itu berarti dia membeli akta dari orang yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan menggunakan akta atas nama adik, berarti dia menggunakan identitas adiknya selama bertanding. Ada kasus seperti ini dulu,” ujar Yacob.
Selain itu, ada juga kasus pencurian umur yang memanfaatkan ijazah palsu. Saat itu aturan penyerahan akta kelahiran disebut Yacob tidak terlalu ketat sehingga ijazah palsu bisa ikut mendukung pelaku melakukan pencurian umur.
“Karena saat itu kadang-kadang akta hanya diminta fotokopi-nya saja. Sedangkan untuk ijazah sekolah, oknum orang tua yang nakal membeli ijazah sekolah dari sekolah-sekolah tertentu. Jadi waktu itu kami yang bertugas sebagai tim menemukan kesamaan ada beberapa atlet yang mendapat ijazah dari sekolah-sekolah tertentu saja.”
“Ada juga yang domisili rumah di mana, tetapi lulusan sekolah-nya dari pulau yang berbeda. Hal ini menimbulkan kecurigaan,” katanya.
Seiring kemajuan zaman, Yacob yakin bahwa praktek-praktek macam itu sudah tidak lagi marak dilakukan walaupun Yacob juga tak berani menjamin sudah benar-benar 100 persen hilang.
Sejak 2018, PBSI sudah menerapkan pendaftaran online di tiap turnamen. Karena itu, setiap atlet usia muda yang sudah punya nomor induk dan pernah mengikuti turnamen di bawah PBSI bakal punya rekam jejak yang jelas. Dengan demikian, atlet atau orang-orang di sekitar atlet tidak bisa melakukan manipulasi data di tengah jalan karena bakal terlihat keganjilannya bila merujuk rekam jejak sebelumnya.
“Sekarang entry data pemain sejak awal dilakukan. Dengan data sudah tercatat di sistem, itu berarti bila ada niat untuk kecurangan dan perubahan pasti bakal ketahuan.”
“Selain itu pada Seleksi Nasional, yang dilihat bukan hanya kemampuan teknis, melainkan juga identitas yang melekat pada atlet. Apakah benar usianya seperti yang tertera di data diri mereka. Karena itu juga Seleknas melibatkan dokter,” ujar Yacob.
Dalam gelaran Seleksi Nasional, PP PBSI kini telah melibatkan tim dokter yang bertugas melakukan tes forensik dan memeriksa anatomi tubuh calon pemain Pelatnas Cipayung. Mereka mencocokkan identitas usia yang tertera dengan kondisi atlet, semisal susunan gigi atlet, sesuai dengan usianya atau tidak.
Yacob pun mengimbau pada orang tua dan pelatih untuk tidak lagi melakukan praktek-praktek pencurian umur karena merugikan orang lain dan juga merugikan anak sendiri.
“Modus pencurian umur ini tentu dari orang tua atau pelatih karena atlet yang masih anak-anak pasti tidak tahu banyak. Dengan melakukan pencurian umur, andai si pelaku berprestasi, berarti merampas hak anak lain yang seharusnya mendapatkan hal itu.”
“Sedangkan bagi anak yang melakukan pencurian umur, dia pasti juga tidak akan merasa percaya diri karena dia tahu bahwa ia lebih tua dari kategori usia yang ia mainkan.”
Pendaftaran Pemain ke Luar Negeri
Pelatnas Cipayung bukan jalan satu-satunya untuk berprestasi. Ketika seorang atlet belum mendapat panggilan dari Pelatnas Cipayung, mereka masih bisa meniti karier secara mandiri atau lewat bantuan klub.
Namun dalam setiap upaya mendaftarkan diri ke pertandingan internasional, PBSI jadi satu-satunya jalur yang harus digunakan untuk mendaftar.
Pelatih PB Tangkas, Christian, mengeluhkan satu aturan baru yang diberlakukan tahun ini soal pengiriman pemain luar negeri. Dalam peraturan baru itu disebutkan bahwa pemain yang ingin mendaftar ke turnamen luar negeri harus memiliki ranking BWF terlebih dulu. Pemain yang tidak punya ranking harus diverifikasi terlebih dulu oleh PP PBSI.
Situasi ini kemudian jadi rumit karena justru sang pemain ingin diberangkatkan ke turnamen luar negeri demi bisa mendapat poin dan akhirnya punya peringkat dalam daftar ranking BWF.
“Atlet kami, Rafi [Zafran], kemarin kalah di semifinal Seleknas. Itu berarti dia tidak masuk Pelatnas Cipayung. Sempat dipanggil latihan bersama selama dua pekan tetapi kemudian dipulangkan ke klub tanpa ada evaluasi apapun.”
“Karena kami lihat Rafi ini punya potensi dan dia siap ikut turnamen dengan biaya mandiri, maka kami berupaya mendorongnya untuk ikut turnamen di tahun ini,” tutur Christian.
Tangkas lalu berusaha mendaftarkan Rafi ke sejumlah turnamen di level di bawah Super 100 yaitu kategori International Challenge, International Series, dan Future Series. Sebagai pemain yang belum punya ranking, ia harus memulai dari turnamen terbawah.
“Setiap daftar lalu ditolak. Katanya belum punya ranking BWF, tetapi ada juga pemain yang belum punya ranking bisa berangkat.”
“Daftar International Challenge di Indonesia juga tidak bisa masuk. Mungkin wajar karena banyak peminat dari Indonesia. Namun ketika kami coba daftar Sydney International, ternyata juga ditolak, padahal tidak banyak atlet Indonesia yang ikut,” ujar Christian.
Menurut Christian, hal-hal seperti ini seharusnya bisa diperhatikan oleh PP PBSI. Ketika atlet masih punya semangat juang untuk ikut turnamen, mereka harus mendukung dan memberikan ruang untuk pemain-pemain di luar Pelatnas Cipayung yang ingin aktif berkompetisi.
“Kalau setahun ini dia terus kesulitan ikut kompetisi internasional, bisa saja kan semangatnya sudah keburu hilang,” tutur Christian.
Christian menyatakan PB Tangkas juga sudah mengirimkan surat ke PBSI Jakarta Selatan tempat mereka bernaung terkait kondisi ini. Christian berharap Rafi bisa ikut turnamen internasional di sisa tahun 2022.
“Kami belum coba untuk daftar di turnamen kategori Future. Kemarin kan International Challenge dan International sudah ditolak. Ini kami mau coba daftar di turnamen kategori Future,” ujar Christian.
Sedangkan menurut Ketua Harian PB Jaya Raya Imelda Wiguna, bagian pendaftaran PBSI harus berbenah karena sempat melakukan kesalahan. Atlet PB Jaya Raya yang ingin didaftarkan ikut turnamen malah tidak didaftarkan.
“Kalau tidak daftar [ikut turnamen], atlet itu tidak bisa masuk ranking [yang bagus]. Karena kalau tidak masuk ranking, ke depannya saat mau ikut turnamen yang levelnya lebih tinggi jadi masuk waiting list,” ujar Imelda.
Masalah lain yang berkaitan dengan pembinaan badminton Indonesia adalah soal transfer pemain. Di dunia badminton, transfer pemain antar-klub juga terjadi.
Namun sejauh ini transfer tersebut masih belum benar-benar jelas dipetakan. Ketua PB Suryanaga (Surabaya) Yacob Rusdianto menyatakan bahwa klub-klub yang mengadakan audisi membuat batasan aturan transfer tak terang-benderang.
Dalam rentang 2013-2022, Yacob menyatakan bahwa banyak atlet-atlet yang sebelumnya berlatih di Suryanaga hijrah ke klub lain. Sejatinya, ada aturan tentang transfer dan perpindahan pemain dari satu klub ke klub lain dan satu pengprov ke pengprov lain.
“Aturan itu sangat-sangat harus diindahkan lagi karena ada audisi itu jadi tidak berlaku lagi. Karena setiap audisi akan membenturkan orang tua dengan klub.”
“Mereka datang menyatakan ingin pindah setelah lolos audisi dan segera mengurus surat kepindahan. Ini yang mau tidak mau harus dilakukan, kompleks jadinya. Tidak ada yang salah, klub besar juga ingin jadi yang terbaik tetapi bagi klub-klub swasta dan mandiri seperti Suryanaga akan mengalami masa-masa sulit,” tutur Yacob.
Pelik Biaya Transfer
Kembali ke persoalan transfer, PB Djarum sebagai salah satu klub yang melakukan audisi umum menyatakan tidak mau terlibat dalam urusan yang mengikat sang calon pemain dengan klub sebelumnya tempat mereka bernaung.
“Karena kami tidak memaksa. Jadi kalau atlet dilarang klub lama, ya jangan daftar ke audisi. Daftar juga tidak ada biaya. Setelah diterima di sini tetapi tidak dapat izin klub lama juga tidak apa-apa [kalau tidak jadi masuk],” ujar Yoppy.
“Kami tidak tahu bagaimana latar belakang mereka di klub lama. Prinsipnya, kami ingin menjaga koneksi dengan klub lain. Jadi, urusan pemain dengan klub lama silakan diselesaikan sendiri,” kata Yoppy menambahkan.
PB Djarum juga punya prinsip tak mau membayarkan biaya transfer untuk pemain-pemain yang sudah masuk kategori dewasa. Salah satu contoh atlet yang pindah ke PB Djarum saat sudah dewasa adalah Liliyana Natsir yang sebelumnya bernaung di PB Tangkas.
Sejalan dengan itu, PB Djarum juga tidak meminta biaya transfer untuk atlet-atlet yang ingin keluar dari naungan mereka dan membela klub lain.
“Tidak, saya bilang ke atlet [yang mau masuk PB Djarum], harus urus sendiri urusan dengan klub sebelumnya. Karena kami tidak tahu sejarah dia dengan klub lama bagaimana.”
“Kalau atlet PB Djarum mau keluar, ya sudah silakan. Tetapi kalau atlet lain mau ke PB Djarum, memang harus memenuhi syarat. PB Djarum tidak ingin mengurus urusan atlet dengan klub lama,” tutur Yoppy.
Batasan Transfer Rp2 Miliar
Urusan biaya transfer antarklub dan antar pengprov ini masih jadi bahasan yang menarik. Menurut Juniarto, landasan peraturan yang lebih jelas akan membuat alur perpindahan pemain menjadi lebih adil untuk tiap klub.
Juniarto juga menilai perpindahan atlet-atlet usia dini juga sudah tepat untuk dikenakan biaya transfer. Dengan kehadiran biaya transfer, klub-klub kecil disebut Juniarto bakal mendapatkan jerih payah atas upaya mereka membina pemain sebelum hijrah ke klub besar.
“Berdasarkan prestasi, walaupun masih usia dini juga dasarnya adalah prestasi. Itu profesionalitas saja. Biaya transfer itu harus ada agar klub kecil bisa mendapatkan uang. Kalau audisi kan klub besar bisa ambil pemain tanpa biaya ke klub lama,” kata Juniarto.
Menurut Juniarto, aturan transfer yang sudah disusun oleh PP PBSI saat ini memberikan rasa keadilan yang lebih baik. Saat ini, bila pemain peringkat 10 besar BWF pindah klub, ada biaya transfer minimal Rp2 miliar.
Dari dokumen yang diterima CNN Indonesia, pasal itu tercantum dalam Peraturan Organisasi yang ditandatangani Juni 2022 lalu.
“Ranking 1-10 dunia BWF itu seharusnya Rp5 miliar usulan saya. Tetapi yang disetujui itu Rp3 miliar. Waktu transfer Liliyana Natsir belum ada peraturan itu, PO-nya belum jalan. Kalau transfernya cuma ratusan juta itu tidak ada artinya. Pemain seperti Liliyana Natsir itu [seharusnya harganya] miliaran,” tutur Juniarto.
Bintang PB Tangkas lain yang hijrah ketika berusia dewasa adalah Marcus Fernaldi Gideon. Marcus kini ada di bawah naungan PB Jaya Raya. Dalam proses perpindahan Marcus ke Jaya Raya, juga terdapat biaya transfer.
Dalam pandangan Ketua SGS Taufik Hidayat, klubnya tidak akan mempersulit proses transfer bintang-bintang badminton di usia dewasa. Menurut Taufik, selama aturan soal biaya transfer dipatuhi, ia tidak akan menghalangi kepindahan pemain yang memang ingin pergi ke klub lain.
“Selama pindah sesuai dengan aturan, silakan saja. Ikut aturan. Karena ada aturan yang berlaku, sederhana saja,” ujar Taufik.
Sedangkan dalam kategori usia muda, Taufik juga mengakui bahwa ada pemain-pemain SGS yang mengajukan permintaan pindah. Taufik menyatakan pihaknya melihat kasus per kasus.
Menurut Taufik, aturan transfer antar-pemain muda di Indonesia masih belum diatur dengan detail. Jadi proses perpindahan dibicarakan antarklub yang terkait saja.
“Banyak juga, tinggal alasannya saja bagaimana. Kami juga tak mau membuatnya jadi hal yang rumit. Kalau si anak sudah tidak nyaman, tidak usah dipaksakan. Tetapi memang harus bilang alasannya apa.”
“Kalau alasannya bohong, ya kami persulit karena kami punya aturan, tidak bisa pindah semena-mena,” tutur Taufik.
Aturan Potongan Prize Money dan Bonus Klub
Menurut Yacob, faktor finansial yang tidak kuat dari Suryanaga jadi penyebab banyaknya pemain-pemain yang memilih hengkang ke klub lain. Yacob lalu menunjuk penghentian potongan prize money sebagai salah satu penyebab finansial klub goyah.
Menurut Yacob, sejak zaman Try Sutrisno, potongan hadiah atlet sudah dihadirkan sebagai bentuk subsidi dan dorongan penyemangat untuk klub-klub di Indonesia.
Di tiap uang hadiah turnamen yang dimenangkan, jumlah tersebut dipotong sebesar 25 persen. Peruntukannya untuk Pengprov, Pengkot dan Klub tempat dia bernaung.
Aturan tersebut tidak lagi berlaku di zaman PBSI era Gita Wirjawan yang dimulai pada 2012. Prize money yang diterima mutlak 100 persen jadi milik atlet.
“Jujur saya katakan di 2012 sistem pemotongan prize money hilang, padahal sistem itu susah payah dihadirkan oleh Pak Try Sutrisno.”
“Saya pernah mempertanyakan hal ini di Mukernas. Saya kira juga banyak tokoh-tokoh yang menyayangkan sistem tersebut hilang? Tetapi apakah kita ngotot? Kita tidak bisa karena yang digaungkan adalah kebebasan atlet mendapatkan haknya 100 persen tanpa diminta klub dan daerahnya,” ujar Yacob.
Menurut Yacob, sistem pemotongan prize money sejatinya berguna untuk pembinaan dan regenerasi di klub sang atlet.
“Tanpa klub mengirimkan atlet [saat masih membina], mereka tidak bsia sampai ke nasional dan internasional. Jadi kalau mereka mendapatkan potongan prize money, itu untuk adik-adik mereka. Ketika diputuskan bahwa atlet tidak ada potongan, ini menurut saya sangat salah,” kata Yacob.
Argumen Yacob disetujui oleh Dewan Pembina PB Tangkas, Juniarto Suhandinata. Menurut Juniarto, ketiadaan pemotongan prize money seolah membuat pemain yang sudah masuk pelatnas putus hubungan dengan klub dan daerah asal.
“Sangat berpengaruh ketika pemotongan dihapus di zaman Pak Gita. Kontribusi dana itu yang membuat kami punya dana. Saya berpendapat klub-klub masih perlu dana itu meski sudah punya sponsor.”
“Menurut saya kebijakan itu [tidak ada lagi pemotongan prize money] tidak bagus karena seolah-olah pemain itu sudah putus hubungan dengan klub, pengkab, pengkot, dan pengprov, padahal itu yang membesarkan mereka,” tutur Juniarto.
Menurut Juniarto, PBSI era Gita Wirjawan tidak mengantisipasi penghentian pemotongan prize money dengan subsidi ke klub.
“Apa dia bisa bantu untuk sponsor klub? Omdo [Omong doang].”
“Memang pengorbanan paling besar itu klub. Bukannya mau serakah, tetapi memang pendanaan itu akan kami pakai untuk membina generasi selanjutnya,” ujar Juniarto.
Ketua PB Jaya Raya Imelda Wiguna mengakui bahwa kebijakan potongan prize money yang sudah ditiadakan itu memang sebuah hal yang menjadi dilema.
“Agak susah ngomongnya. Kalau saya bilang kebijakan itu baik tentu akan ada yang protes. Sebenarnya Jaya Raya tidak butuh uang itu [potongan prize money] karena sudah bisa cover semuanya.”
“Cuma berdasarkan pengalaman, klub-klub itu sebelumnya dapat uang potongan prize money sehingga bisa mengatur keuangan lebih baik untuk membeli pemain,” kata Imelda.
Terkait keluhan pihak Suryanaga dan Tangkas soal hilangnya peraturan pemotongan prize money yang berdampak pada kondisi finansial klub, Taufik menyebut bahwa bukan hanya klub yang terdampak melainkan juga Pengprov.
“Saya rasa SGS juga sama, bukan hanya untuk klub tetapi juga Pengprov. Dulu prize money dipotong 25 persen, itu bagus. Karena tidak semua Pengprov bisa hidup nyaman, jadi dengan ada pemotongan itu punya manfaat.”
“Sejak era Pak Gita itu ditiadakan, di sana klub mulai goyang dan Pengprov banyak yang tidak jalan. Menurut saya, dipotong 25 persen untuk menghidupkan klub itu wajar saja, asal bukan untuk pribadi,” ucap Taufik.
Gita Wirjawan menjadi ketua PP PBSI sejak 2012-2016. Mulai awal 2013, peraturan pemotongan prize money atlet tidak lagi diberlakukan seperti di tahun-tahun sebelumnya.
Dengan demikian, jumlah uang hadiah yang diterima atlet benar-benar mutlak milik mereka. Terobosan lain PBSI era Gita adalah sistem sponsor yang berubah menjadi individu, tidak lagi kolektif seperti era sebelumnya. Hal ini juga membuat atlet menerima kenaikan pendapatan yang terbilang signifikan.
Kebijakan tersebut bertujuan agar atlet punya pendapatan yang lebih baik. Hal itu juga bakal berdampak ke regenerasi lantaran akan banyak orang tua yang tidak ragu mendorong anaknya jadi atlet karena melihat contoh sukses atlet Indonesia yang mampu menembus persaingan kelas dunia.
Di sisi lain, perihal ketiadaan pemotongan prize money, situasi ini seperti dua sisi mata koin. Klub dan Pengprov yang awalnya mendapat aliran pemasukan lewat potongan prize money menjadi kehilangan sumber pendapatan dari hal tersebut.
Sebagai informasi, setelah klub-klub melepas pemain terbaik mereka ke Pelatnas Cipayung, mereka tidak mendapat timbal balik berupa dana dan materi dari PBSI. Hal ini yang menghilang seiring kebijakan tersebut.
Hal-hal lain yang mengemuka dalam hubungan klub, pemain, dan Pelatnas Cipayung adalah soal bonus. Dalam beberapa kejuaraan bergengsi, ketika seorang pemain bisa berprestasi, klub asal terkadang memberikan gelontoran bonus.
Namun tidak semua klub mampu melakukannya. Hanya klub dengan finansial solid saja yang bisa memberikan apresiasi pada atlet yang berprestasi.
Karena itu tak heran soal pemberian bonus yang tidak selalu dirasakan oleh semua pemain berprestasi, karena tergantung asal klub, seringkali jadi bahasan publik.
Menurut Yacob, hal itu kembali pada kondisi finansial klub. Ketika Suryanaga masih mendapatkan potongan dari prize money pemain, plus punya sponsor kuat dari segi finansial, mereka tidak kesulitan menggelontorkan bonus.
“Jadi kalau ada pemain juara di sebuah kompetisi, misal All England atau juara dunia, klub bisa memberikan bonus mengambil dari kompensasi prize money itu [yang sebelumnya sudah dikumpulkan]. Jadi jika harus keluar uang dari kantong, tidak begitu susah.”
“Setelah dihapus, berarti dengan kata lain seluruhnya dari kantong klub. Itu tidak tertangani,” kata Yacob.
Sedangkan dalam pandangan Taufik, permasalahan bonus pada akhirnya bisa berpengaruh pada hubungan antara klub dan pemain. Sebagai pengurus SGS, Taufik menyebut bahwa kemampuan tiap klub tidak sama.
“Kembali lagi ke atletnya [bagaimana bersikap], karena ada klub yang banyak uang, ada yang tidak. Ada plus-minus dan perbedaan pemikiran setiap orang berbeda-beda.”
“Tinggal dilihat apakah atlet itu orientasinya uang atau dedikasi. Itu dinamikanya karena mungkin kebutuhan dan masalah atlet itu berbeda-beda,” tutur Taufik.
Taufik pun mengaku bahwa ia siap dengan segala konsekuensi soal kebijakan bonus, termasuk kemungkinan atlet binaan mereka pindah klub.
“Asal selama pindah sesuai dengan aturan, silakan saja ikut aturan. Karena itu ada aturan, sederhana saja,” tutur Taufik.
Di sisi lain, PB Djarum dan PB Jaya Raya adalah dua klub yang rutin memberikan bonus pada atlet-atlet mereka yang mengukir prestasi di kancah internasional. Menurut Ketua PB Jaya Raya Imelda Wiguna, pemberian bonus adalah hak mutlak klub pada pemain.
PB Jaya Raya pun sudah punya formula tersendiri soal bonus untuk pemain berprestasi.
“Karena kami ingin atlet itu berhasil. Kami sudah punya konsepnya. Bentuk apresiasi kami itu berupa uang. Kalau juara Olimpiade itu dapat rumah,” kata Imelda.
Sumber: CNN Indonesia