Klub-klub Indonesia adalah jembatan mimpi untuk anak-anak yang bercita-cita jadi juara dunia. Tujuan klub makin terasa mulia karena mayoritas tak punya keuntungan finansial dari kegiatan yang mereka lakukan.
Membina olahraga adalah membina sebuah hal yang sulit dijelaskan hitung-hitungannya secara gamblang. Uang sebesar Rp100 miliar pun bahkan tak menjamin negara punya seorang juara dunia.
Tetapi satu hal yang sedikit bisa dipastikan, dengan banyaknya klub-klub yang punya struktur pembinaan yang bagus dan berjenjang, peluang Indonesia memiliki atlet-atlet papan atas dunia semakin besar.
Pembinaan yang bagus dan ideal itu tentu butuh dana yang besar. Dana yang besar tidak hanya harus digelontorkan oleh PP PBSI ketika membina atlet-atlet Pelatnas Cipayung.
Dana besar juga dibutuhkan oleh klub-klub untuk menempa atlet-atlet muda. Dengan sistem asrama dan pihak klub menanggung keseharian atlet, alhasil angka yang fantastis bakal keluar sebagai nilai yang harus dikeluarkan.
Di luar biaya keseharian atlet dan dana operasional seperti listrik, air, sewa bangunan, atau perawatan, klub juga menanggung biaya pengiriman atlet, baik di dalam maupun luar negeri.
Juniarto Suhandinata, Dewan Pembina PB Tangkas menganggap idealnya klub yang bermarkas di Jakarta ini punya alokasi dana sebesar Rp1 miliar per bulan.
“Satu bulan sekitar Rp1 miliar lah kira-kira. Untuk membina klub, butuh angka miliaran dalam satu tahun,” kata Juniarto.
PB Tangkas tidak merilis angka pembinaan resmi yang mereka keluarkan. Namun yang pasti, pengeluaran PB Tangkas saat ini masih lebih banyak ditopang oleh Justian Suhandinata selaku pemilik.
Ketiadaan sponsor membuat langkah PB Tangkas untuk menciptakan atmosfer pembinaan yang ideal makin sulit untuk dilakukan.
Saat masa jaya, PB Tangkas bisa menaungi hingga 120 atlet. Namun saat ini tinggal 36 atlet.
“Dulu itu kami bagi menjadi tiga kategori. Pertama, dasar adalah pemassalan dengan semua atlet bayar, meskip jumlah iurannya juga tidak cukup untuk bayar shuttlecock.”
“Kemudian yang kedua adalah pembinaan. Atlet yang di kategori pemassalan bagus akhirnya diberikan (latihan) intensif. Ketiga, itu kategori prestasi. Itu full kami biayai,” kata Juniarto.
Dengan model pembinaan dan dana besar yang dibutuhkan, Juniarto menganggap pendirian klub badminton untuk pembinaan atlet berprestasi Indonesia memang bukan untuk dibisniskan.
“Klub bisa untung kalau pengeluarannya lebih kecil dari pendapatannya. Tetapi Tangkas tidak begitu. Di Tangkas semua uangnya dipakai untuk pembinaan. Untung tidak, nombok iya,” ujar Juniarto yang pernah berkiprah sebagai Referee BWF.
Yacob Rusdianto yang jadi Ketua Suryanaga (Surabaya) juga mengakui bahwa pembinaan badminton untuk anak usia dini sangatlah besar. Saat ini Suryanaga mengeluarkan Rp150 juta per bulan untuk atlet yang mereka tanggung biayanya secara penuh. Saat ini mereka menaungi sekitar 200 atlet, tapi dengan catatan tak semua atlet full ditanggung.
Dengan demikian, pembiayaan pembinaan PB Suryanaga ada di angka sekitar Rp1,8 miliar per tahun. Menurut Yacob, jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan saat mereka sedang berada di masa keemasan.
“Dulu sekitar 2000-2010, satu tahun tidak kurang dari Rp10 miliar. Namun bukan berarti saat ini saya bisa berjanji bila dikasih Rp10 miliar terus bisa dapat pemain bagus, itu omong kosong.”
“Karena untuk pembinaan, yang utama itu harus punya atlet terlebih dulu. Karena itu saya tidak bisa menjanjikan. Namun kalau kami sudah memiliki atlet, kemudian pembinaan bisa jalan ketika mendapatkan sponsor,” tutur Yacob yang juga pernah menjabat sebagai Sekjen PBSI ini.
Tergantung Bos Sponsor
SGS Bandung juga terus berjuang dan banting tulang untuk memutar roda organisasi. PLN yang sebelumnya jadi sponsor mereka sejak 2004 juga sudah tidak lagi bekerja sama terhitung pada 2020.
Dengan kondisi tersebut, Taufik Hidayat yang merupakan Ketua SGS, menyebut bahwa mengumpulkan dana operasional dengan sistem gotong royong di antara sesama pembina.
“Pembiayaan juga ada dari sponsor, tidak hanya dari Pak Lutfi (Hamid, pemilik klub) saja. Saya juga cari sponsor dari dalam dan luar Jawa Barat. Begitulah dinamikanya, susah-senang bareng-bareng.”
“Soal mencari sponsor, susah memang. Kalau kami sedang dekat dengan perusahaan besar, mungkin dapat. Tetapi kalau perusahaan itu ganti bos, bisa ganti lagi ceritanya,” tutur Taufik.
Taufik mengakui bahwa secara umum klub-klub di Indonesia memang harus banting tulang dan berdarah-darah untuk pembinaan dan regenerasi pemain-pemain badminton di masa depan.
“Kami bersyukur, termasuk ke Djarum dan Jaya Raya karena ikut membesarkan bulutangkis juga. Yang terpenting bagi kami, kontribusi kami tetap ada meski kecil.”
“[Dengan segala keterbatasan dana], dari kami harus lebih selektif untuk membiayai yang berprestasi saja. Ada atau tidak ada sponsor, SGS harus hidup,” kata Taufik.
Lutfi Hamid sebagai pemilik SGS menyatakan bahwa kebutuhan ideal untuk bisa membawa SGS bergerak dengan baik adalah Rp5 miliar per tahun.
Dengan ketiadaan sponsor utama saat ini, gerak SGS saat ini tidak sepenuhnya sesuai dengan yang mereka harapkan.
“Untuk menciptakan atlet kelas dunia, minimal Rp5 miliar per tahun hal itu bisa dilaksanakan. Kalau bisa dapat sponsor yang mau memberikan dana Rp5 miliar selama lima tahun, saya optimistis akan muncul Taufik Hidayat baru.”
“Kami bakal transparan karena sponsor bisa audit sendiri dan bisa jadi pengurus. Mereka bisa lihat aliran uang untuk apa saja,” tutur Lutfi.
Menurut Lutfi, perhatian Pemerintah terhadap atlet-atlet Indonesia berprestasi sudah bagus. Namun Lutfi mengingatkan bahwa bentuk perhatian itu juga harus dirasakan oleh klub-klub yang kerja keras di bidang pembinaan sebagai hulu, alias asal semua tersebut bisa terjadi.
“Bulutangkis adalah satu-satunya olahraga di Indonesia yang bisa menyabet emas di Olimpiade. Pemerintah sekarang mendukung kalau atlet juara dapat bonus. Tetapi pembinaan ini yang justru tidak mudah.”
“Pembinaan ini yang harus dibantu dulu, baru nanti outputnya prestasi yang juga dapat hadiah,” kata Lutfi.
Membakar Uang
Klub Bandung lainnya, Mutiara Cardinal menggelontorkan dana pembinaan di kisaran Rp10 miliar per tahun. Jumlah tersebut untuk pembiayaan 80-90 atlet yang berada di bawah naungan mereka.
Untuk mendapatkan bibit-bibit unggul, PB Mutiara pun harus bergerilya. Mereka aktif mencari pemain-pemain potensial baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa.
“Pencarian bibit harus selektif, berani gerilya, mungkin bibit ada di daerah terpencil dan tidak semua orang punya biaya. arena itu kami harus jemput bola,” tutur Kabid Binpres PB Mutiara Devi Sukma Wijaya.
Menurut Devi, hidup Mutiara dan klub-klub badminton Indonesia rasanya serupa, mereka membakar uang untuk menciptakan pemain-pemain bintang yang bisa mengharumkan Indonesia di pentas dunia.
“Kita tidak mencari untung, justru ibaratnya kita membantu mencari bibit untuk negara. Tidak ada pernah untung.”
“Klub-klub bakar duit untuk membina. Sponsor pun dicari yang benar-benar mencintai bulutangkis. Para sponsor yang mengeluarkan uang segitu [jumlah besar], mereka benar-benar cinta sekali dengan bulutangkis. Saya rasa pun klub-klub besar tujuannya sudah benar-benar sumbangsih untuk negara,” ujar Devi.
Banting tulang juga dirasakan oleh Jaya Raya. Klub legendaris ibu kota ini saat ini menaungi 94 atlet mulai dari kategori pemula hingga taruna. Untuk menggembleng atlet-atlet tersebut, PB Jaya Raya menggelontorkan dana di kisaran Rp20 miliar-Rp30 miliar per tahun.
Dari jumlah fantastis tersebut, Jaya Raya menegaskan bahwa misinya memang untuk pembinaan pemain badminton Indonesia. Misi yang terus mereka pegang sejak berdiri pada 1975.
“Di sini [sumber dana dari] Yayasan Pembangunan Jaya Raya. CSR. Perusahaan Jaya itu banyak, jadi mereka mengumpulkan dana untuk membangun Yayasan.”
“Kami murni pembinaan meskipun tidak mendapat apa-apa [keuntungan dari segi finansial] dari pembiayaan segitu banyak,” ucap Ketua PB Jaya Raya Imelda Wiguna.
Selain dari CSR perusahaan-perusahaan yang membentuk Yayasan Pembangunan Jaya Raya, Imelda menyebut PB Jaya Raya terbuka untuk masuknya sponsor. Sejauh ini mereka punya Yonex sebagai sponsor apparel.
“Kami terbuka sebenarnya, seandainya ada yang mau gabung untuk sponsor, itu kami terima. Sebelumnya memang tidak, sekarang baru ada Yonex.”
“Jadi untuk ke depannya, kami terbuka terhadap sponsor. Tetapi intinya, kami tidak mencari keuntungan,” ucap Imelda.
Jaya Raya menganut sistem perekrutan atlet lewat klub-klub satelit. Mereka memberikan subsidi pembinaan pada 17 klub satelit yang tersebar di berbagai daerah.
Atlet-atlet terbaik yang ada di tiap klub satelit akan masuk ke PB Jaya Raya.
“Saat 2014 saya menggantikan Mbak Koes [Retno Kustijah]. Kami mulai membentuk tim-tim satelit karena membayangkan klub-klub lain itu bisa ambil atlet muda di daerah. Kami mulai membiayai klub tersebut agar bisa eksis di pertandingan.”
“Kami terus belajar dan banyak kegagalan. Setelah berhasil, klub-klub lain mulai mengikuti sistem satelit. Di PB Jaya Raya ini kami menerima anak-anak di usia SMP karena ketika masih SD, sebaiknya ditangani oleh klub di daerah asalnya. Jadi kalau ada pemain berusia 10 tahun yang sudah bagus di daerah, kami bantu dulu.”
Imelda mengakui bahwa secara umum klub-klub di Indonesia harus menjalani pengorbanan besar untuk membina atlet dari usia muda hingga matang dan dipetik Pelatnas Cipayung.
“Dari kacamata klub, bila banyak klub yang terus membina pemain muda, dampaknya juga bagus.Semua klub berusaha membina atlet. Tujuan utama klub kan mengirim pemain ke Pelatnas, di sini juga sama,” tutur juara dunia ganda campuran tahun 1980 ini.
Dana puluhan miliar rupiah yang dikeluarkan PB Jaya Raya, tidak akan kembali dalam wujud keuntungan. Namun dalam wujud lain yang lebih megah, yaitu kebanggaan.
“Saya rasa lumrah, momen kerja keras terobati ketika atlet kami juara. Pak Ciputra juga senang ketika ada atlet kami yang bisa juara Olimpiade,” tutur Imelda.
Sementara itu Ketua PB Djarum Yoppy Rosimin tak mau mengungkap biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh pihaknya.
“Tergantung dari program. Kalau program banyak kirim turnamen apalagi di luar negeri dan luar pulau, pengeluaran akan banyak.”
“Kalau kami sebut, nanti kami dikira sombong. Saya tetap tidak mau jawab itu karena nanti membuat orang lain merasa tersindir. Pokoknya tergantung bujet dari perusahaan dan sponsor,” ucap Yoppy.
Sebagai gambaran, PB Djarum saat ini menaungi sekitar 140 atlet. Seluruh atlet yang bernaung di PB Djarum mendapatkan beasiswa penuh yang berarti segala keperluan tiap atlet sudah ditanggung.
Bila membandingkan dengan pembiayaan yang dilakukan oleh PB Jaya Raya, kemungkinan besar biaya operasional PB Djarum ada di kisaran angka yang sama, bahkan lebih besar mengingat mereka punya sekitar 50 atlet lebih banyak.
Yoppy menilai angka besar pembinaan yang dikeluarkan PB Djarum sejatinya bisa juga dilakukan oleh pihak-pihak lain di Indonesia.
“Pendapat orang mungkin PB Djarum duitnya banyak, pantas bisa begitu. Tetapi yang punya duit banyak di Indonesia itu tidak sedikit.”
“Saya yakin banyak banget. Sebenarnya kembali lagi ke komitmen. Kami punya komitmen [untuk pembinaan badminton],” kata Yoppy.
PB Djarum melakukan pola perekrutan atlet dengan membuka audisi umum, pemanduan bakat, dan juga kerja sama dengan klub-klub mitra.
“Saat pandemi Covid-19 kami tetap melakukan perekrutan tetapi caranya berbeda. Sebelumnya audisi umum, tetapi saat pandemi kami bergerilya.”
“Kami datang ke klub mitra di beberapa tempat. Ada 19 mitra, saya tidak menyebut klub-klub tersebut sebagai satelit. Kami tidak pernah kasih uang ke klub mitra. Tapi kami beri shuttlecock, fasilitas sparring, training pelatih, dan pertandingan antarklub mitra,” ujar Yoppy.
Menurut Yoppy, di balik pengeluaran besar yang dilakukan PB Djarum, ada hal-hal yang bakal membuat mereka tersenyum puas ketika kerja keras yang mereka lakukan menghasilkan. Momen ketika atlet-atlet asal PB Djarum bisa berjaya dan membawa nama Indonesia berada di podium tertinggi kompetisi tingkat dunia.
“Kompensasi yang kami terima adalah glory [kejayaan badminton Indonesia] yang tidak bisa dibeli dengan uang. Untuk membina, jangan meminta instan.”
“Soal pembinaan, tidak bisa instan. Dan kami punya komitmen untuk terus melakukan itu,” tutur Yoppy menegaskan.
Sumber : CNN Indonesia