Industri hiburan asal Korea Selatan sedang berada di atas angin. Tak heran banyak warga dunia memimpikan bisa berkunjung atau bahkan tinggal di Korea. Mereka membayangkan kehidupan yang indah dan romantis seperti yang nampak di drama Korea (drakor).
Meski demikian, ada yang menyebut bahwa Korea adalah negara yang paling pandai memoles diri. Sebab, apa yang mereka tampilkan di layar lewat konten hiburan bisa sangat berbeda dengan realita di dunia nyata.
Berikut adalah sejumlah fakta kelam kehidupan di Korea:
1. Tekanan sosial yang tinggi
Budaya kompetitif yang menyiksa berlanjut sampai ke universitas dan dunia profesional. YouTuber Priscilla Lee, putri dari pasangan berdarah Korea yang kini tinggal di Indonesia, mengungkap bagaimana budaya kompetitif dan tekanan sosial membuat banyak masyarakat di Negeri Ginseng nyaris tak pernah istirahat.
“Saking kompetitifnya, istirahat pun kamu merasa bersalah. Aku selalu merasa begitu pas tinggal di Korea. Misal aku mau rebahan saja enggak enak sama diri sendiri, terbebani,” ujarnya, lewat video yang diunggah di kanal YouTube Priscilla Lee.
“Kesannya enggak normal kalau kamu enggak capek,” tambahnya.
2. Obsesi terhadap universitas bergengsi
Masyarakat Korea Selatan terkenal sangat kompetitif. Namun, kompetisi di sini sudah masuk level yang menyiksa sampai-sampai siswa SD banyak yang mengikuti kursus tambahan usai sekolah yang berlangsung hingga pukul 10 malam. Tujuannya tak lain agar bisa masuk universitas bergengsi.
Kritikus mengatakan kompetisi sangat ketat untuk masuk ke universitas top Korea telah mendorong siswa melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti memalsukan karya ilmiah. Sebab, untuk bisa diterima di universitas ternama, mereka dituntut memiliki prestasi akademik dan keterampilan yang sempurna.
Karena kondisi tersebut, bisnis yang menyediakan layanan konsultasi penerimaan perguruan tinggi berkembang pesat, menawarkan program yang dirancang untuk membantu klien masuk ke universitas bergengsi.
Jika Anda penikmat drama Korea, Anda mungkin pernah menonton serial Sky Castle yang tayang pada 2019 lalu. Sky Castle mengungkap bagaimana sisi gelap obsesi terhadap sekolah-sekolah elit yang menampilkan para wanita dari kalangan superkaya: istri politisi dan istri dokter.
Tekanan sosial yang dibebankan pada siswa memaksa seorang anak perempuan berbohong bahwa dia berkuliah di Universitas Harvard selama satu tahun.
3. Angka bunuh diri yang tinggi
Tekanan sosial yang tinggi menyebabkan banyak orang depresi. Di Korea, Anda akan sering mendengar berita siswa yang bunuh diri karena tidak lulus ujian masuk perguruan tinggi.
Korea Selatan memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di antara negara-negara yang menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Dalam laporan yang disampaikan Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea Selatan, angka kematian bunuh diri Korea, atau jumlah bunuh diri per 100.000 orang, adalah 24,7 pada 2018. Angka tersebut dua kali lipat lebih tinggi dibanding rata-rata tingkat bunuh diri negara OECD, yakni di level 11.
Para ahli mengatakan penyebab bunuh diri sangat kompleks, tidak hanya karena masalah kesehatan pribadi dan mental tetapi juga terkait dengan faktor ekonomi dan tekanan sosial. Fakta ini salah satunya terlihat dari laporan tentang sejumlah artis dan influencer Korea yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
4. Banyak orang enggak menikah dan punya anak
Kehidupan yang keras membuat banyak orang memutuskan untuk hidup sendiri, mereka enggak menikah dan punya anak. Pilihan hidup ini terpaksa diambil karena kehidupan ekonomi yang sulit. Banyak generasi muda mengeluhkan sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak di tengah perlambatan ekonomi yang berkepanjangan.
Sebagai akibatnya, Korea Selatan menghadapi krisis populasi. Angka kelahiran bayi terus anjlok dari tahun ke tahun. Pada Februari 2022, jumlah rata-rata anak yang dikandung seorang wanita Korea Selatan dalam hidupnya mencapai titik terendah sepanjang masa, yakni hanya sebesar 0,81 tahun lalu, turun dari 0,84 tahun lalu. Ini menandai tahun keempat berturut-turut di mana tingkat kesuburan berada di bawah 1 persen.
5. Kasus bullying hingga pelecehan seksual
Kasus bullying maupun pelecehan seksual kerap terjadi di mana saja dan kapan saja. Mirisnya, tindakan serupa juga terjadi di balik gemerlap industri hiburan Korea Selatan.
Seperti yang kerap diberitakan media, beberapa selebriti pun terjerat dalam kontroversi bullying. Bahkan, aksi bullying juga menimpa sejumlah staff yang bekerja di balik layar.
6. Jam kerja yang sangat panjang
Sisi gelap lain dalam industri hiburan Korea Selatan ialah jam kerja yang berlebihan. Bukan hanya bagi para artisnya, namun juga para pegawai yang bekerja di balik layar. Selalu ada kemungkinan jika pihak produksi sebuah drama ingin menyelesaikan proses syuting secepat mungkin, terlebih karena tingginya biaya produksi.
Bahkan, 4 episode awal sebuah drama biasanya melangsungkan proses syuting lebih dulu dalam satu waktu. Nggak sedikit pula aktor dan aktris yang hanya bisa tidur 1 jam selama syuting berlangsung.
Tak hanya itu saja, dengan mempertimbangkan rating sebuah episode drama hingga reaksi pemirsa, proses syuting bisa bertambah jika penggantian alur dibutuhkan yang makin menambah jam kerja. Nggak jarang pula mereka bisa bekerja hingga 20 jam lamanya.
Sementara, staff maupun pegawai lainnya pun disibukkan dengan kepadatan jadwal yang sama ketatnya. Melansir Min News, seorang asisten sutradara sebuah drama pada tahun 2016 melakukan bunuh diri. Adik dari asisten sutradara tersebut mengungkap jika sang kakak mengalami tekanan yang tinggi saat bekerja, hingga jam kerja yang berlebihan.
7. Pembayaran Gaji Aktor dan Aktris Korea yang Tak Adil
Pembayaran gaji para aktor maupun aktris Korea kerap menjadi pertanyaan banyak orang, terutama publik. Sedikit terungkap dari penjelasan aktor Park Jun Gyu lewat acara Happy Together, para aktor maupun aktris memperoleh bayaran yang sama yaitu full untuk 1 episode. Baik mereka telah menyelesaikan 10 adegan maupun hingga 50 adegan, bayaran yang diterima adalah sama. Sementara, ada pula aktor maupun aktris yang memperoleh bayaran lebih sedikit, yaitu ketika mereka berperan sebagai orang yang telah meninggal.
Kendati demikian, jika aktor ataupun aktris papan atas yang menjadi orang meninggal dan fotonya muncul dalam sebuah adegan, maka bayaran mereka akan jauh lebih besar.
8. Proses Menjadi Trainee Idol yang Sulit
Grup K-Pop memang memiliki banyak penggemar dan kerap menampilkan berbagai performa yang baik di atas panggung. Tak hanya itu saja, kesuksesan mereka pun bisa ditandai dengan penjualan album yang tinggi, menggelar tur dunia, fan sign, hingga ditunjuk sebagai brand ambassador.
Namun, di balik itu semua, ada proses yang sangat panjang untuk menjadi seorang idol K-Pop. Melansir Koreaboo, salah satu drama Korea yang berjudul Imitation pun turut menggambarkan realita sulitnya menjadi trainee idol.
9. Penggemar yang Terlalu Obsesif atau ‘Sasaeng’
Dukungan penggemar menjadi salah satu ‘penyemangat’ bagi setiap selebriti Korea. Sayangnya, beberapa dari mereka harus berhadapan dengan penggemar yang terlalu obsesif, atau kerap disebut sebagai sasaeng dalam bahasa Korea. Berbeda dengan penggemar pada umumnya, sasaeng bisa melakukan berbagai hal nekat untuk bertemu si artis idola, mulai dari mencari kamar hotel tempat mereka menginap, menghubungi nomor ponsel, bahkan hingga menyentuh tubuh idola tanpa izin.
10. Cancel Culture yang Berdampak pada Reputasi Selebriti
Istilah ‘Cancel Culture’ makin sering terdengar beberapa tahun terakhir ini, dan sama halnya seperti di industri hiburan Korea Selatan. Melansir Korea Joongang Daily, para selebriti Korea tak hanya menjadi sosok di dunia entertainment yang menghibur dengan akting ataupun musik mereka, namun juga menjadi figur contoh bagi publik.
Karena alasan itu, jika mereka melakukan tindakan yang menurut publik tak sesuai seperti terlibat kontroversi, sikap yang tidak menunjukkan sopan santun, hingga skandal yang menimbulkan pro kontra, maka reputasi mereka bisa ‘lenyap’ dalam semalam akibat adanya cancel culture.
Sumber : CNBC Indonesia