Dua karyawan Twitter Singapura menceritakan momen di-PHK pada awal November ini usai platform media sosial itu diakuisisi oleh Elon Musk.
Abigail dan Carmen (bukan nama sebenarnya) menyebut tindakan Elon Musk yang memecat lebih dari 50 persen karyawan Twitter ini sebagai PHK serampangan dan tak berempati.
“Saya pikir ini bukan cara tepat untuk menangani transisi. Saya mengerti dengan manajemen baru, kepemimpinan baru, mereka menginginkan perubahan. Tapi mereka benar-benar tidak memikirkan ribuan karyawan secara global,” kata Carmen dilansir dari CNA, Kamis (17/11).
“PHK di Twitter tidak seperti PHK di industri teknologi lainnya, karena skala yang besar dan cara serampangan yang mereka lakukan,” kata Abigail.
Ia mengatakan mulanya pada hari PHK terjadi, Jumat (4/11) pagi, Carmen sedang menuju ke kantor ketika mendapat surel yang mengatakan bahwa akan ada PHK dan sejumlah akses karyawan akan tidak berfungsi. Surel itu menyarankan agar para karyawan tidak pergi ke kantor. Carmen pun pulang menuju rumah.
Dalam waktu satu jam, rekan-rekan Carmen di kawasan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika kehilangan akses ke sistem perusahaan seperti email dan Slack. Ketika informasi terkait PHK ini sudah menyebar di AS, Carmen mengaku rekan-rekannya di kawasan Asia-Pasifik mulai mempersiapkan diri.
Meski telah mengantisipasi PHK, namun mereka tetap terkejut dengan kejadian yang berlangsung cepat itu.
Jelang makan siang, Carmen kehilangan akses ke sistem perusahaan itu. Ia pun menerima surel bahwa dirinya diberhentikan. Pada akhirnya, sebagian besar karyawan di tim global mengalami pemutusan hubungan kerja.
“Saya merasa sangat sedih. Saat mengetahui bahwa banyak rekan satu tim saya juga di-PHK, pikiran pertama saya adalah: ‘Wow, semua yang kami kerjakan sia-sia’,” kata Carmen.
PHK massal ini pun berdampak pada karyawan yang tak diberhentikan. Pasalnya mereka tak langsung tahu apa yang terjadi pada perusahaan itu.
“Di beberapa tim, ada manajer yang diberhentikan sehingga mereka (anggota tim) yang pergi ke kantor pada hari Senin berikutnya tidak mengetahui apa yang terjadi,” tambahnya.
Sementara itu, Abigail mengaku ada tim yang “seluruh upline”-nya di-PHK. Artinya, seluruh jajaran manajer ke atas tidak ada.
“Twitter yang saya ikuti dan Twitter yang saya kenal adalah orang-orang yang benar-benar berkomitmen untuk melayani perbincangan publik. Mereka sangat bangga dengan komunikasi yang empati namun jelas, dan saya merasa itu kurang dari semua komunikasi yang saya lihat sejauh ini dari kepemimpinan baru,” kata Abigail.
Ketika dilihat kembali, Carmen mengaku tak melihat perubahan negatif dengan berubahnya kepemilikan Twitter. Terlebih, Elon Musk sebagai pemilik baru memiliki rekam jejak sebagai pengusaha yang berhasil.
Menurutnya, titik balik kekhawatiran para karyawan Twitter adalah ketik Musk memecat CEO Twitter Parag Agrawal, CFO Ned Segal, dan penasihat hukum utama Vijaya Gadde usai menyelesaikan kesepakatan pada 27 Oktober.
Dia mengaku saat itu seluruh karyawan merasa frustasi menunggu kejelasan atas pemecatan CEO dan CFO Twitter yang lama. Tapi tidak ada kabar dari manajemen.
“Selama masa transisi, menurut saya tidak normal untuk segera memecat CEO. Tapi itulah yang terjadi. Sejak itu, banyak top (eksekutif) lainnya, mereka dilepaskan atau mengundurkan diri, dan memang ada kekosongan di puncak. Maksud saya, sejujurnya, meskipun saya tidak di-PHK, saya rasa saya tidak ingin bekerja di Twitter baru ini,” tegasnya.
Sumber: CNN Indonesia