Komisi IX DPR hari ini memanggil Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk membahas kebijakan penghapusan kelas 1, 2, 3 layanan BPJS Kesehatan. Selain Budi, DPR turut memanggil Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Budi sudah tiba di depang gedung ruang rapat Komisi XI DPR sekitar pukul 10.01 WIB. Ia tiba menggunakan kendaraan dinas Mobil Alphard hitam berpelat nomor RI 28.
Selain Budi, DPR juga mengagendakan rapat dengan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Direktur Utama RSUP Dr. Rival Abdullah Palembang, Direktur Utama RSUP Surakarta, Direktur Utama RSUP Dr. Kariadi Semarang, Direktur Utama RSUP Dr. Tadjuddin Chalid Makasar, dan Direktur Utama RSUP Dr. Johannes Leimena Ambon, serta Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Swasta Indonesia (PERSI).
Dalam mata acara agenda rapat hari ini disebutkan, pembahasan rapat mencakup penjelasan tentang implementasi piloting Kelas Rawat Inap Standar (KRIS); dan pembahasan perkembangan kebijakan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK), khususnya perubahan tarif layanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sudah melakukan uji coba kelas rawat inap standar (KRIS) pengganti kelas 1,2, dan 3 di sejumlah fasilitas kesehatan. Sejak September 2022. Lalu, dengan perubahan sistem rawat inap tersebut, bagaimana dengan tarif iuran mulai bulan ini?
Pps Kepala Humas BPJS Kesehatan Arif Budiman menjelaskan skema dan besaran iuran masih sama dengan sebelumnya. Mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, bahwa besaran iuran ditentukan berdasarkan jenis kepesertaan setiap peserta dalam program JKN.
“Selanjutnya terkait iuran, saat ini tidak ada wacana perubahan iuran,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, baru-baru ini.
Arif menuturkan, bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdaftar sebagai Peserta PBI, iurannya sebesar Rp 42.000 dibayarkan oleh Pemerintah Pusat dengan kontribusi Pemerintah Daerah sesuai kekuatan fiskal tiap daerah.
Selanjutnya, bagi peserta PPU (Pekerja Penerima Upah) atau pekerja formal baik penyelenggara negara seperti ASN, TNI, Polri, dan pekerja swasta, besaran iuran sebesar 5% dari upah, dengan rincian 4% dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1% oleh pekerja. Untuk perhitungan iuran ini berlaku pula batas bawah yaitu upah minimum kabupaten/kota dan batas atas sebesar Rp 12 juta.
“Jadi perhitungan iuran dari penghasilan seseorang hanya berlaku pada jenis kepesertaan PPU, pekerja formal yang mendapat upah secara rutin dari pemberi kerjanya,” imbuhnya.
Terakhir bagi kelompok peserta sektor informal yang tidak memiliki penghasilan tetap dikelompokkan sebagai peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan BP (Bukan Pekerja). Untuk jenis kepesertaan ini, peserta dapat memilih besaran iuran sesuai yang dikehendaki. Kelas 1 sebesar Rp 150.000 per orang per bulan, kelas 2 sebesar Rp 100.000 per orang per bulan dan kelas 3 sebesar Rp 35.000 per orang per bulan.
Perlu diketahui juga bahwa khusus PBPU kelas 3 sebetulnya mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp 7.000 per orang per bulan, sehingga sebetulnya totalnya Rp 42.000.
“Jadi bagi seseorang yang belum memiliki penghasilan atau sudah tidak berpenghasilan dapat memilih menjadi peserta PBPU dengan pilihan kelas 1, 2 atau 3. Atau jika masuk dalam kategori masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dapat masuk menjadi kelompok peserta PBI yang iurannya dibayar pemerintah,” pungkasnya.
Sumber : CNBC Indonesia