Bom yang menggunakan gotri dan paku yang jadi trademark teroris disebut lebih berbahaya meski ledakannya tidak terlalu besar. Pasalnya, material tambahan itu bisa melesat dengan amat cepat dan melukai lebih banyak korban.
Sebelumnya, bom bunuh diri terjadi di kantor Polsek Astana Anyar, Kota Bandung, Rabu (7/12) pukul 08.20 WIB.
Identias pelakunya diklaim Agus Sujatno alias Agus Muslimin, mantan narapidana teroris yang terafiliasi jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Jawa Barat.
Meski belum mengungkap jenis bom yang digunakan oleh pelaku, Kapolda Jawa Barat Irjen Suntana mengungkapkan pihaknya menemukan serpihan paku payung, yang diduga salah satu bahan bom, di lokasi kejadian.
“Serpihan berupa paku-paku payung. Nanti pengembangan dari mana akan diidentifikasi lebih lanjut,” kata dia.
Penggunaan bom berbahan tambahan sudah dilakukan sejak kelompok teroris generasi awal di Indonesia. Itu terbukti dari temuan gotri atau paku atau pecahan besi dari tubuh korban. Misalnya, kasus bom di hotel JW Marriot, Jaksel, 5 Agustus 2003.
Pelaku bom bunuh diri, Asmar Latin Sani, meledakkan diri dari dalam mobil di luar hotel yang kemudian menewaskan 13 orang lainnya. Selain itu, Bom Bali II di RAJA’s Bar and Restaurant Kuta serta Nyoman Cafe Jimbaran, Bali, 2005. ketika itu, 23 orang termasuk pelaku meninggal.
Tak cuma di dalam negeri. Pemakaian bom gotri ini juga sempat ditemukan di serangan bunuh diri di Ankara, Turki, Maret 2016.
Bak peluru
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mengungkapkan sebagian besar bom rakitan atau perangkat peledak buatan (IED) milik teroris merupakan hasil improvisasi.
Bahan baku peledak, kata lembaga di bawah PBB ini, dicuri atau disalahgunakan dari perlengkapan peledakan militer atau komersial, seperti pupuk dan bahan-bahan rumah tangga.
Untuk memperparah dampaknya, teroris kerap menambahkan bahan-bahan semacam gotri (semacam besi kecil bulat sebesar peluru mainan) yang lazim dipakai kalangan teroris di Indonesia sejak era Bom Bali II.
“Efek IED terkadang diperparah dengan penambahan material, seperti besi bekas atau bantalan bola,” kata UNODC, dikutip dari situsnya.
Peneliti ledakan dari University of Rhode Island, AS, Jimmie Exley mengatakan ledakan dari bom rakitan bisa memiliki kecepatan 1 hingga 9 kilometer per detik, atau 3200 hingga 30.000 kilometer per jam.
Pada 2017, Oxley yang mempelajari ledakan bom pipa mengatakan kekuatan ledakan dapat mempercepat laju potongan logam melebihi 3.200 kilometer per jam. Dengan kata lain, material tersebut melesat lebih cepat dari kecepatan rata-rata peluru.
“Anda bisa berada cukup jauh dari ledakan untuk aman dari gelombang tekanan, tetapi pecahannya jauh lebih berbahaya – mereka bergerak lebih jauh dan susah diprediksi,” katanya, seperti dikutip dari Business Insider.
“Beberapa akan seperti Frisbee (cakram plastik yang biasanya untuk main lempar dengan anjing) dan meluncur sangat jauh,” imbuh dia.
Sumber: CNN Indonesia