Ada aturan spesifik terkait busana yang harus diikuti tamu undangan pernikahan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, dan Erina Gudono di Pura Mangkunegaran, Solo. Tamu dilarang mengenakan batik dengan motif parang.
Alasannya, menurut perwakilan keluarga, karena larangan tersebut datang langsung dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara X, yang merupakan penguasa Pura Mangkunegaran (disebut juga Puro Mangkunegaran), tempat resepsi pernikahan akan dilangsungkan.
Kenapa batik motif parang dilarang?
Dikutip dari laman resmi Pura Mangkunegaran, sebenarnya larangan tersebut sudah diberlakukan sejak lama. Sebab, motif batik parang hanya boleh dikenakan oleh Adipati dan keluarganya.
“Seperti di Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Puro Pakualaman Yogyakarta, motif batik parang adalah motif batik terlarang yang hanya boleh dipakai oleh Adipati dan keluarganya, hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya Dinasti Mataram,” demikian bunyi penjelasan tersebut.
Mengutip dari Ensiklopedia The Heritage of Batik, batik motif parang merupakan salah satu batik keraton yang digunakan di lingkungan kerajaan dan tidak boleh dipakai sembarangan. Nama parang berasal kata pereng yang dalam bahasa Jawa memiliki arti garis lengkung menyerupai ombak laut.
Sesuai namanya, salah satu motif batik tertua di Indonesia ini memiliki susunan motif yang membentuk huruf S yang melambangkan kekuasaan, kekuatan, dan semangat yang tak pernah padam. Sedangkan, susunan yang saling menyambung satu sama lain bermakna sebuah kesinambungan.
Menurut buku Batik: Fabled Cloth of Java oleh Inger McCabe Elliot, motif parang memiliki makna yang menyiratkan kekuatan dan pertumbuhan yang digunakan oleh raja. Oleh sebab itu, motif parang tidak boleh digunakan oleh rakyat biasa.
Motif parang Yogyakarta dan Solo
Diketahui, motif batik parang merupakan motif yang dimiliki oleh keraton Yogyakarta dan Surakarta. Hal yang membedakan antara motif parang Yogyakarta dan Surakarta adalah bentuk dan warnanya.
Motif parang Yogyakarta memiliki bentuk diagonal dari kanan atas ke kiri bawah dengan campuran warna putih dan hitam sebagai warna dasar, sedangkan parang Surakarta berbentuk sebaliknya dengan warna coklat soga.
Dalam tradisi Keraton Yogyakarta, batik motif parang, seperti Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk merupakan Awisan Dalem atau motif larangan. Berkaitan dengan hal tersebutt, penggunaannya pun terikat oleh aturan tertentu.
Dikutip dari laman resmi Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, aturan penggunaan motif parang tertuang dalam “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927 tentang Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Kraton Nagari Yogyakarta.
Dalam nyamping atau bebet, aturan penggunaan motif parang sebagai batik larangan adalah sebagai berikut.
- Parang Rusak Barong ukuran lebih dari 10 cm hingga tak terbatas hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
- Parang Barong ukuran 10-12 cm dipakai oleh putra mahkota, permaisuri, Kanjeng Panembahan dan istri utamanya, Kajeng Gusti Pangeran Adipati dan istri utamanya, putra sulung sultan dan istri utamanya, putra-putri sultan dari permaisuri, dan patih.
- Parang Gendreh ukuran 8 cm dipakai oleh istri sultan (ampeyan dalem), istri putra mahkota, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentana, para pangeran dan istri utamanya.
- Parang Klithik ukuran 4 cm ke bawah dipakai oleh putra ampeyan dalem, dan garwa ampeyan (selir putra mahkota), cucu, cicit/buyut, canggah, dan wareng.
Sementara itu, pemakaian motif parang sebagai kampuh atau dodot aturannya adalah sebagai berikut:
Motif Parang Barong dikenakan oleh sultan, permaisuri dan istri utama, putra mahkota, putri sulung sultan, Kanjeng Panembahan, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati, putra sulung sultan dan istri utamanya.
Kampuh Gendreh dipakai oleh putra-putri sultan dari permaisuri dan garwa ampeyan, istri (garwa ampeyan), putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentono, istri utama para pangeran, dan patih.
Bebet Prajuritan (kain batik untuk kelengkapan busana keprajuritan), yang boleh mengenakan sama dengan ketentuan pemakaian kampuh.
Kampuh Parang Rusak Klithik dipakai untuk istri dan garwa ampeyan putra mahkota.
Sumber : CNBC Indonesia