Sebuah penelitian dari Universitas Tilburg menunjukkan pola perselingkuhan pada pasangan biasanya terjadi secara bertahap.
Para peneliti menganalisis kelompok besar sekitar 1.000 orang dewasa dan mengamati hubungan mereka selama rata-rata 8 tahun. Sebanyak 947 orang (609 pelaku perselingkuhan dan 338 korban) diikutsertakan, dan mayoritas dari mereka menyelesaikan studi hingga tamat.
Setiap orang berada dalam hubungan yang berkomitmen dan pernah mengalami perselingkuhan. Sementara itu, kelompok lain yang tidak pernah mengalami perselingkuhan dicocokkan dengan mereka.
Well-being setiap orang dilacak menggunakan sistem pelaporan diri, termasuk keadaan psikologis secara keseluruhan serta kepuasan hubungan. Merujuk kamus American Psychological Association (APA), well-being adalah keadaan individu yang digambarkan dengan adanya rasa bahagia, kepuasan, tingkat stres yang rendah, sehat secara fisik dan mental, serta kualitas hidup yang baik.
Para peneliti menemukan bahwa sebelum terjadi perselingkuhan, biasanya terjadi penurunan level well-being.
“Perselingkuhan sebagian besar diyakini memiliki konsekuensi yang merusak bagi well-being pribadi dan hubungan,” tulis para peneliti, seperti dikutip IFL Science, Minggu (18/12/2022).
Studi yang telah dipublikasikan di jurnal Psychological Science itu menunjukkan bahwa setelah perselingkuhan terjadi, orang yang berselingkuh merasakan harga diri yang lebih rendah, kepuasan hubungan yang lebih rendah, dan keintiman yang lebih rendah.
Hampir semua indikator well-being berangsur-angsur menurun menjelang perselingkuhan. Ada lebih banyak konflik dan lebih sedikit kepuasan yang dilaporkan oleh kedua belah pihak menjelang peristiwa tersebut.
Setelah perselingkuhan terjadi, sebagian besar hubungan tidak dapat diselamatkan.
Sayangnya, literatur empiris tak cukup untuk menjelaskan apakah perselingkuhan berawal dari hubungan yang bermasalah atau perselingkuhan membuat hubungan menjadi bermasalah.
Sumber : CNBC Indonesia