Di balik gemerlap industri K-pop, Korea Selatan tengah berjuang menghadapi fenomena sosial baru, yakni mati kesepian. Banyak jenazah yang ditemukan selama berhari-hari atau berminggu-minggu meninggal sendirian setiap tahun.
Fenomena ini dikenal dengan kondisi lonely death atau ‘godoksa’ yang berarti kondisi mati kesepian tanpa ada kerabat atau keluarga di sisi mereka. Kondisi tersebut umumnya terjadi pada orang tua yang kematiannya sering tidak diketahui selama berhari-hari atau jangka waktu yang lebih lama. Fenomena ini padahal telah lebih dulu dikenal di Jepang dengan istilah ‘kodokushi’.
Sepanjang 2021, Korea Selatan mencatat 3.378 mati kesepian, naik dari 2.412 pada 2017, menurut laporan yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan belum lama ini.
Laporan kementerian tersebut adalah yang pertama sejak pemerintah memberlakukan Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Kematian Kesepian pada tahun 2021, di mana pembaruan diperlukan setiap lima tahun untuk membantu menetapkan kebijakan untuk mencegah mati kesepian.
American Heart Association merilis pernyataan ilmiah bahwa isolasi sosial dan kesepian dapat meningkatkan risiko sekarat akibat serangan jantung atau stroke yang menjadi salah satu penyebab warga Korea Selatan mati kesepian.
“Ada bukti kuat yang menghubungkan isolasi sosial dan kesepian dengan peningkatan risiko kesehatan jantung dan otak yang lebih buruk secara umum,” kata Crystal Cene, ketua tim peneliti.
Di bawah hukum Korea Selatan, mati kesepian didefinisikan sebagai kondisi ketika seseorang yang hidup sendiri, terputus dari keluarga atau kerabat, meninggal karena bunuh diri atau sakit. Lalu jenazah mereka baru ditemukan setelah jangka waktu tertentu.
Laporan CNN Internasional menyebut bahwa fenomena mati kesepian mendapat perhatian nasional selama satu dekade terakhir karena jumlah kasus yang terus meningkat. Faktor-faktor di balik tren tersebut termasuk krisis demografi negara, kesenjangan kesejahteraan sosial, kemiskinan dan isolasi sosial sejak pandemi Covid-19.
Pria paruh baya lebih berisiko alami mati kesepian
Meskipun kematian akibat kesepian memengaruhi orang-orang di berbagai demografi, laporan tersebut menunjukkan pria paruh baya dan lanjut usia tampak sangat berisiko.
Jumlah pria yang menderita mati kesepian 5,3 kali lipat dari wanita pada tahun 2021, naik dari empat kali lipat sebelumnya.
Orang-orang berusia 50-an dan 60-an berkontribusi hingga 60% kematian kesepian pada 2021. Sementara kelompok orang berusia 20-an dan 30-an menyumbang 6% hingga 8%.
Lansia dan kemiskinan
Korea Selatan adalah salah satu dari sejumlah negara Asia, termasuk Jepang dan China yang menghadapi penurunan demografis. Jumlah bayi yang lahir lebih sedikit dari jumlah kematian. Salah satu konsekuensi dari distribusi usia yang tidak seimbang ini adalah jutaan lansia berjuang sendirian untuk bertahan hidup.
Pada 2016, lebih dari 43% warga Korea berusia di atas 65 tahun berada di bawah garis kemiskinan, menurut Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Angka tersebut lebih dari tiga kali rata-rata nasional negara-negara OECD lainnya.
Song In-joo, peneliti senior di Pusat Kesejahteraan Seoul, menulis dalam sebuah studi pada 2021 tentang mati kesepian di mana kehidupan orang Korea paruh baya dan lanjut usia memburuk dengan sangat cepat jika mereka berhenti bekerja. Studi tersebut menganalisis sembilan kasus kematian karena kesepian, dan melakukan wawancara mendalam dengan tetangga, tuan tanah, dan pekerja kasus mereka.
Satu kasus melibatkan seorang buruh berusia 64 tahun yang meninggal karena penyakit hati terkait alkohol, setahun setelah kehilangan pekerjaannya karena cacat. Dia tidak memiliki pendidikan, keluarga atau bahkan ponsel.
Dalam kasus lain, seorang wanita berusia 88 tahun mengalami kesulitan keuangan setelah kematian putranya. Dia meninggal setelah pusat kesejahteraan lansia yang dia hadiri, yang menyediakan makanan gratis, ditutup pada awal pandemi.
“Kesulitan yang diungkapkan sebelum kematian oleh mereka yang berisiko meninggal sendirian adalah masalah kesehatan, kesulitan ekonomi, keterputusan dan penolakan, serta kesulitan dalam mengatur kehidupan sehari-hari,” tulis Song.
Faktor yang memperparah termasuk bantuan pemerintah yang tertunda dan kurangnya perawatan di rumah bagi mereka yang menderita penyakit serius atau kronis.
Sumber : CNBC Indonesia