Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam menghentikan penuntutan atas perkara penadahan motor dan penggelapan uang sebesar Rp 45 juta melalui program restiratif justice. Akhirnya Tersangka Harris Fadillah dan Denar bin Deni bisa bebas dari hukuman penjara.
Pengehentian penuntutan atas kedua perkara tersebut ditandai dengan penyerahan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif oleh Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Batam, Herlina Setyorini kepada masing-masing tersangka di Aula Kantor Kejari Batam, Kamis (12/1/2022).
“Alhamdulilah, di awal tahun 2023 ini Kejari Batam telah menjalankan program Jaksa Agung dengan menghentikan dua perkara melalui restoratif justice atau penghentian perkara di luar persidangan,” kata Herlina di sela-sela penyerahan SKP2 kepada para tersangka.
BACA JUGA: Sukses Jalankan Program Restoratif Justice, Kejari Batam Raih Penghargaan dari Kejagung RI
Herlina menjelaskan, restorative justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana di tingkat penuntutan atau di kejaksaan dengan melibatkan tersangka, korban, keluarga kedua belah pihak, dan pihak terkait.
Adapun kedua tersangka atau pelaku tindak pidana yang dihentikan penuntutannya, kata Herlina, adalah tersangka Harris Fadillah yang disangka melanggar pasal 480 ayat (1) ke 1 KUHPidana tentang penadahan, lantaran membeli kendaraan bermotor hasil kejahatan (Curanmor) seharga Rp 800 ribu.
Sementara tersangka lainnya adalah Denar bin Deni, yang disangka melakukan tindak pidana penggelapan uang sebesar Rp 45 juta milik temannya. Dalam kasus ini, ia (Denar) pun dijerat dengan pasal 374 ayat (1) KUHPidana.
“Restoratif justice terhadap kedua perkara ini tergolong sangat cepat. Pasalnya, baru tadi pagi kami melakukan gelar perkara (ekspose) dan langsung disetujui oleh Kejati Kepri dan Kejaksaan Agung,” papar Herlina.
Herlina menjelaskan, langkah restoratif justice yang ditempuh Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menyelesaikan perkara tersebut di luar persidangan setelah berkoordinasi dan memediasi dengan masing-masing pihak yang berperkara.
Dari hasil koordianasi atau mediasi, tutur Herlina, para pihak yang berperkara (tersangka dan korban) sepakat berdamai dan saling memaafkan agar perkara ini tidak dilanjutkan sampai ke meja persidangan
Restorative justice dilakukan atas permohonan dari keluarga tersangka dengan pertimbangan tersangka sudah mengakui perbuatannya. Selain itu, antara korban dan tersangka sudah ada kesepakatan berdamai.
Setelah dipelajari dan mengacu pada keadilan restorarif yang membolehkan, lanjut Herlina, maka kedua perkara itu dihentikan.
Acuan pertama yang menjadi bahan pertimbangan adalah ancaman hukuman di bawah lima tahun. Terdakwa juga baru pertama kali melakukan tindak pidana artinya masih belum residivis atau belum pernah melakukan tindak pidana berulang-ulang
“Keputusan restorative justice secara otomatis menutup perkara tindak pidana penadahan dan penggelapan, sehingga tidak ada lagi persidangan ke depannya. Inti dari restorative justice adalah mengembalikan suasana atau situasi dalam keadaan semula sebelum terjadinya tindak pidana,” timpalnya
Kajari pun berharap, program restorative justice (RJ) tidak hanya menghentikan perkara semata, tetapi juga menggerakan para tersangka, korban dan masyarakat untuk berperan dalam menciptakan harmoni di masyarakat, dan membuat suasana sama seperti sebelum terjadinya tindak pidana.
(sumber-Batamtoday.com)