Kekerasan dalam bentuk apapun, selain tidak pernah ada pembenarnya, juga bisa melahirkan traumatik. Demikian pula praktik Bullying. Suatu bentuk kekerasan psikologis yang tidak mustahil berdampak panjang.
Dalam pemahaman saya, Bullying merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang, dapat terjadi kapapun dan dimanapun. Tindakan mengintimidasi serta memaksa individu/kelompok yang lebih lemah untuk melakukan sesuatu diluar kehendak mereka.
Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mereduksi kekerasan. Utamanya dengan menerbitkan berbagai kebijakan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) misalnya menerbitkan kebijakan untuk peserta didik melalui desain Profil Pelajar Pancasila. Kebijakan ini merupakan bagian upaya serius pemerintah menggagas dukungan ekosistem sekolah yang kondusif dan saling mendukung. Melalui Profil Pelajar Pancasila diharapkan nilai Pancasila dapat bermukim di peradaban dunia sekolah.
Meski demikian, fakta keras menunjukan, kekerasan di lingkungan sekolah masih terjadi. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus perundungan atau bullying terhadap anak-anak paling banyak dialami oleh siswa Sekolah Dasar. Ini memprihatikan. Sebab, bullying memiliki dampak luas pada kehidupan banyak anak. Penyebab traumatik yang berpotensi terbawa hingga dewasa. Pelaku bullying berada dalam tingkat risiko yang lebih tinggi untuk terlibat dalam kriminalitas, penyalahgunaan alkohol, dan kenakalan, sedangkan korban berisiko mengalami depresi dan masalah harga diri pada masa dewasa nanti.