Peringatan Gerakan 30 September 1965, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali menjadi sorotan. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo kali ini menyebut, ada indikasi paham komunis telah menyusup ke institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai tudingan Gatot Nurmantyo tersebut kurang masuk akal.
Menurutnya paham komunis saat ini sudah tidak laku dijual dan publik justru lebih tertarik dengan keriuhan polemik atau pro-kontra sinyalemen itu.
“Menurut saya tudingan bahwa paham komunis sudah menyusup ke tubuh TNI itu kurang masuk akal. Paham komunis ini sudah tidak laku dijual,” kata Fahmi dikutip Tribunnews.com.
Di sisi lain, Fahmi menduga para prajurit TNI yang dianggap memiliki paham kiri oleh Gatot adalah orang-orang yang dinilainya memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan saat ini.
“Nah ini saya kira berlebihan,” tambah Fahmi.
Fahmi mengatakan pembinaan mental ideologi merupakan salah satu pilar TNI dalam menjaga kedisiplinan, loyalitas dan moral prajurit.
Dengan demikian, kata Fahmi, TNI sangat serius terkait hal tersebut baik melalui profiling dan screening dalam proses seleksi prajurit, penanaman doktrin di lembaga pendidikan, maupun mekanisme reward and punishment dalam pembinaan SDM di kesatuan.
Fahmi melanjutkan, meski Gatot sudah pensiun dari TNI dan sampai saat ini tak berpartai, namun dia banyak terlibat dalam kegiatan yang bersifat politis.
Dengan demikian, sulit untuk tidak melihat bahwa peringatan Gatot soal bahaya laten komunis diangkat untuk kepentingan politiknya.
“Pak Gatot ini tampaknya memang konsisten mengangkat isu ini, terutama setiap mendekati akhir September. Tanpa kita sadari, dia menjadi ‘top of mind’ dan menjadi bagian dari perbincangan, perdebatan dan pemberitaan tiap kali negara ini bersiap memperingati Hari Kesaktian Pancasila,” kata Fahmi.
Namun demikian menurutnya wajar jika Gatot secara konsisten memilih isu komunisme untuk menjaga dan mengelola eksistensinya.
Isu G30S/PKI, kata dia, memang masih sangat menarik bagi sebagian masyarakat, terutama kelompok-kelompok Islam maupun kelompok-kelompok yang terasosiasi dengan militer.
Isu semacam itu, kata dia, banyak diminati oleh influencer dan buzzer baik online maupun offline.
Selain itu menurutnya ada banyak orang yang dengan senang hati dan sukarela akan menggaungkan narasi dan aksi apapun yang terkait isu G30S, baik positif maupun negatif.
“Ada banyak media yang memberi ruang bagi kemunculan Gatot, setiap tahun. Sekarang ini ibaratnya, membincangkan PKI tanpa menyebut nama Gatot itu gak ramai, gak seru,” kata Fahmi.
Fahmi melihat hal tersebut menjadi peluang yang sangat dimengerti dan kemudian dikelola oleh Gatot dan timnya.
Masalahnya, lanjut dia, sama seperti isu khilafah yang kerap dikonsumsi oleh kelompok lain, isu komunisme akhirnya menjadi seperti bara yang terus dipertahankan tetap menyala.
Ia justru khawatir bahwa penguasa, elit politik, dan para penyedia jasa pendampingan politik seperti tidak punya niatan membantu masyarakat keluar dari trauma masa lalu dan mendapatkan kebenaran.
Isu-isu tersebut, kata dia, justru terkesan digunakan untuk adu kuat, menghadirkan polarisasi, memelihara kecurigaan dan rasa takut yang menyebar di kalangan masyarakat.
Padahal, kata dia, keduanya sama-sama sumir dan ujung-ujungnya adalah pembodohan publik.