Sebanyak 4 tersangka ditetapkan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat, terkait dugaan korupsi pembangunan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas III Mamuju pada Kamis (11/11).
Proyek itu diketahui digarap menggunakan anggaran tahun 2018 Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Barat. Namun, penggunaan anggaran diduga tak sesuai dan menguntungkan tersangka hingga membuat negara merugi Rp1,6 miliar.
“Penyidik Kejati Sulbar menetapkan empat orang tersangka,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak kepada wartawan, Jumat (12/11).
Ia menjelaskan bahwa para tersangka ialah seorang Pejabat Pembuat Komitmen berinisial M, Direktur PT MLK berinisial SB, Pelaksana Lapangan berinisial AW dan Konsultan Pengawas atau merupakan Direksi CV CPN berinisial A.
Penetapan tersangka sudah dilakukan sejak 25 Oktober 2021. Namun, keempatnya baru ditahan untuk 20 hari pertama terhitung 11 November 2021. “Selama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal 11 November 2021 sampai dengan 30 November 2021 di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas II B Mamuju,” tambahnya.
Penahanan dilakukan lantaran penyidik mengkhawatirkan para tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, serta memengaruhi saksi-saksi lain dalam perkara ini. Selain itu, alasan objektif penahanan dalam perkara ini, yakni jerat pasal dengan ancaman hukuman di atas lima tahun juga telah terpenuhi.
Proyek ini, kata Leonard digarap dengan total nilai proyek sebesar Rp17,7 miliar oleh PT MLK. Namun demikian, dalam laporan pekerjaan tersebut kejaksaan menduga terdapat kekurangan kuantitas maupun kualitas proyek yang bernilai Rp1,6 miliar.
Jumlah tersebut kemudian ditetapkan sebagai dugaan kerugian negara. Dalam hal ini, tersangka diduga menerima sejumlah fee dari nilai proyek yang ada.
Tersangka M, lanjut dia, diduga menyalahgunakan kewenangannya dengan melaporkan hasil pengerjaan proyek tidak sesuai dengan kenyataannya. Kemudian, proyek tersebut diserahkan kepada kuasa pengguna anggaran tidak sesuai dengan kontrak yang tertera.
“Melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran tidak sesuai dengan progress pekerjaan kepada kuasa pengguna anggaran, sehingga pembayaran pekerjaan dilakukan tidak sesuai dengan hasil pekerjaan yang menimbulkan dugaan kerugian negara kurang lebih sebesar Rp1,6 miliar,” jelas Leonard.
Di lain sisi, tersangka SB selaku Direktur perusahaan kontraktor tak menjalankan tugasnya dengan menyerahkan proyek tersebut kepada tersangka AW. Keduafnya bersepakat untuk membagi-bagikan fee dari pembayaran proyek tersebut.
Dalam praktik rasuah tersebut, tim pengawas dari perusahaan swasta diduga turut terlibat dengan tidak melaporkan hasil pengerjaan proyek sesuai kenyataan. Sehingga penyidik kejaksaan menetapkan Direksi CV CPN berinisial A sebagai tersangka.
Para tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (sumber-cnnindonesia.com)