Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Dwi Hartanta dimutasi Jaksa Agung, pasca tuntutan jaksa terhadap seorang ibu berinisial V alias NL (45) karena kerap memarahi suami asal Taiwan berinisial CYC yang sering mabuk. Ia dimutasi berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP-IV-781/C/11/2021 tertanggal 16 November 2021.
“Dimutasikan sebagai Jaksa Fungsional pada Jaksa Agung Muda bidang Pembinaan Kejaksaan Agung di Jakarta,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak kepada wartawan, Kamis (18/11).
Di Jakarta, kata Leonard, Dwi akan bertugas dalam anggota Satgassus penyusunan kebijakan strategis. Ia pun digantikan oleh Riyono yang menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Aspidum di Kejati Jawa Barat.
Riyono sehari-hari merupakan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) di Kejati Jabar. Ia akan merangkap jabatan hingga pejabat definitif baru diangkat oleh Jaksa Agung. “Berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor: PRIN-1203/M.2/Cp.3/11/2021,” jelas Leonard.
Leonard mengatakan bahwa mutasi tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan fungsional bidang pengawasan Kejagung terhadap para jaksa yang bertugas dalam penuntutan V.
“Berdasarkan Pasal 29 ayat (3) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 tentang Manajemen Karier Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia, disebut bahwa pola karier pegawai dapat dibentuk horizontal, vertikal dan diagonal,” tukas dia.
Sebagai informasi, V dituntut oleh Jaksa satu tahun penjara dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Karawang beberapa waktu lalu karena diduga melakukan KDRT psikis.
Tuntutan itu berpolemik hingga mengakibatkan Jaksa yang bertugas diperiksa oleh Kejagung. Dari hasil penelitian sementara, Kejagung beranggapan bahwa seluruh Jaksa yang terlibat dalam penuntutan itu tidak memiliki kepekaan terhadap krisis.
Menurut Leonard, JPU juga menunda-nunda pembacaan tuntutan sebanyak empat kali dengan sejumlah alasan kepada Majelis Hakim. Misalnya, terkait rencana penuntutan yang diajukan ke Kejati Jabar pada 28 Oktober 2021 namun persetujuan tuntutan baru diterima pada 3 November. Sehingga penundaan terjadi beberapa kali.
Selain itu, kata Leonard, terdapat sejumlah arahan ataupun pedoman pimpinan Korps Adhyaksa yang diabaikan oleh jaksa terlibat. Misalnya yang pertama ialah Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum tertanggal 3 Desember 2019.
Kemudian, Jaksa juga tidak mempedomani Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak Dalam Perkara Pidana. Serta, Tujuh Perintah Harian Jaksa Agung. “Sehingga mengingkari norma atau kaidah, hal ini dapat diartikan tidak melaksanakan pimpinan,” jelas Leonard. (sumber_cnnindonesia.com)