Rektor Unud Prof I Nyoman Gede Antara tak hanya sekadar berang atas hal yang dilakukan LBH Bali lantaran mengungkap data dugaan kekerasan seksual di kampus itu. Prof Antara juga mengancam mempidanakan LBH Bali.
Terkait hal itu, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bali Ni Kadek Vany Primaliraing kecewa atas ancaman pidana yang dilayangkan Rektorat Universitas Udayana (UNUD) mengenai terungkapnya kasus kekerasan seksual di kampus tersebut.
Ia menilai ancaman tersebut adalah bentuk pembungkaman kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus atau di UNUD sendiri.
“Kalau seperti ini ketika orang berusaha untuk menyampaikan inspirasi korban dan diancam sebenarnya kan menjadi gambaran, bahwa ini pembungkaman terhadap suara korban dan bertentangan dengan semangat menolak adanya atau menyikapi kasus kekerasan seksual,” kata Vany dilansir dari Kumparan, Rabu (24/11).
Rektor UNUD Prof. Dr. I Nyoman Gde Antara mempertanyakan metode pengumpulan dan validitas data korban kekerasan seksual oleh LBH dan LSM Seruni Bali. Ia mengancam akan melaporkan kedua LSM ini dengan pencemaran nama baik apabila data korban tak valid.
Menanggapi hal ini, Vany mengatakan, pengumpulan data tidak dilakukan seperti penelitian akademik, namun dengan membuka posko pengaduan.
Korban atau orang yang mengetahui ada mengalami kekerasan seksual dapat mengisi formulir dan menyelesaikan sejumlah pertanyaan yang telah disiapkan. Aduan yang telah diterima lalu disaring sehingga dipastikan korban mengalami kekerasan seksual.
Ia menuturkan, ada dua prinsip yang wajib diutamakan dalam penanganan kekerasan seksual. Yakni, kepentingan yang terbaik bagi korban dan mendengarkan suara korban.
“Kalau penelitian akademik kan random bisa ada salahnya. Ini bukan itu, tapi siapa yang merasa jadi korban dan mengetahui adanya informasi kekerasan seksual di Udayana. Jadi bukan data random tidak bisa disandingkan dengan data ala akademik,” tegas dia.
Pihak LBH justru mempertanyakan komitmen UNUD yang tidak mendapatkan aduan adanya kekerasan seksual dari masyarakat kampus.
Menurutnya, tak ada aduan bukan berarti kasus kekerasan seksual tak terjadi. Penyebabnya adalah kampus tidak serius menanggapi kasus kekerasan seksual sehingga korban takut dan enggan mengadu.
“Misalnya (kasus) dipindahkan ke pembimbing terhadap korban sehingga data tidak terhitung, atau apakah kampus belum memiliki sistem pelaporan yang aman, nyaman, tidak mengakomodir suara korban sehingga korban takut untuk melapor,” kata dia.
Pihak LBH juga enggan memenuhi permintaan UNUD untuk menyerahkan seluruh data korban terutama mengenai kronologi detail kekerasan seksual yang dialami korban. Hal ini karena LBH wajib melindungi privasi korban. Data yang dapat diserahkan berupa modus dan identitas pelaku.
“Kalau detail kronologi enggak bisa ya karena bagian dari privasi korban dan kepentingan terbaik bagi korban. Ini juga sesuai dengan asesmen Permendikbud 30,” kata dia.