Kapal senilai Rp 70 Miliar, MV Hena eks MV Seniha-S belum dapat berlayar pasalnya kapal tersebut masih dalam status sita jaminan oleh pengadilan.
Persoalan kepemilikan kapal MV Hena eks MV Seniha-S yang bergulir sejak 2016 hingga 2021 ini di Batam, Kepulauan Riau, belum juga tuntas.
Kapal itu sempat melakukan perbaikan pada tahun 2010 di salah satu galangan kapal di wilayah Tanjung Uncang.
Kapal ini pernah diperebutkan oleh dua pihak yang saling klaim kepemilikan, hingga kini kapal Seniha masih berstatus sita jaminan. Proses perdata dan pidana pemalsuan atas kepemilikan kapal masih menjadi persoalan. Akibatnya, kapal yang ditaksir bernilai Rp 70 miliar itu belum bisa berlayar.
Terbaru, dua orang FT (54) dan BRN (39) ditangkap penyidik Bareskrim Polri pada Rabu (01/12/2021) di Medan dan Manado.
Keduanya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak Agustus 2019 dari kasus yang dilaporkan pihak yang juga mengklaim sebagai pemilik yakni berinisial RSSED warga negara Lebanon (Bulk Black Sea).
Kuasa hukum FT dan RNB menyesalkan penangkapan tersebut. Dalam konferensi pers yang digelar pemilik perusahaan pengelola kapal (Seniha) Togu S bersama dua kuasa hukum dari FT dan RNB di Batam, Irwan S Tanjung dan Indra Raharja.
Irwan S Tanjung menyayangkan proses penahanan yang dilakukan penyidik karena menurutnya kasus perdata masih dalam proses persidangan di Mahkamah Agung.
“Sementara jelas berdasarkan Perma, Sema, kemudian dari manajemen penyidikan Perkap Kapolri, yang mana telah terjadi sebuah perbuatan perdata atau diduga ada pidananya maka dikedepankan dulu perdatanya. Dalam kasus ini kasasinya masih berlangsung di Mahkamah Agung,” ujar Irwan Tanjung di kawasan Batam Center, Batam, Sabtu (11/12/2021).
Terjadinya penahanan tersebut, Irwan sangat menyesalkan langkah yang dilakukan penyidik. Walaupun hal itu menjadi kewenangan dari penyidik.
“Tapi karena ini merupakan sebuah produk hukum positif Indonesia, Polri berdasarkan Perkabnya, Kajagung berdasarkan surat edaran kepala Kajagung dan Perma serta Sema, Polri menangguhkan terlebih dahulu ketika ada perdatanya dalam 1 objek atau yang diduga ada pidananya yang berbarengan perdatanya,” katanya.
Dengan telah ditahannya kedua klinenya itu, Irwan, Tim kuasa hukum mengaku saat ini masih mengambil langkah yang komprensif, serta mengumpulkan bukti-bukti.
“Pasal yang dikenakan kepada kedua klien kami saat ini hanya pasal tunggal 263 tentang pemalsuan. Sementara pasal 378 yang dimasukkan dalam laporan awal sudah tidak ada, hanya pasal 263,” tuturnya.
Indra Raharja mengatakan, banyak pihak yang terlibat dalam kasus ini. Dan menurutnya, seharusnya perakara ini sudah selesai. Sebab, sebelumnya Frans telah memenangkan perkara perdata yang masih ada kaitannya dengan kapal ini. Dalam keputusan itu, menyebutkan poin-poin yang sangat elemental dan fundamental termasuk pengesahan latter of fundarity.
“Latter of fundarity ini yang menjadi bahan penyidik kepolisian. Ini sebenarnya sudah inkrah,” ujarnya sembari membenarkan bahwa pelapor SRSED juga berstatus DPO.
RSED ditetapkan sebagai DPO oleh Bareskrim sejak akhir 2020 atas dugaan sebagai orang yang menyuruh membuat surat persetujuan berlayar ‘Palsu’ untuk kapal MV Shehina-S yang saat ini bertuliskan MV NEHA berbendera Djibouti.
“Yang disuruh sudah dipidana namanya Petrik. Artinya kaitan pidananya sudah jelas. Makanya menurut saya DPO ini tidak sumir karena berangkat dari pidana yang sudah divonis,” ungkapnya.
Di lain sisi, keterlibatan FT dan BRN disebut-sebut ada kaitannya dengan Togu Simanjuntak. Togu yang mengklim pemilik perusahan yang berhak mengelola dan memelihara kapal Seniha (MV Neha) merasa terusik.
Menurutnya, tudingan dari pihak RSED kepadanya itu tidaklah benar. Ia merasa terusik karena namanya disebut-sebut. “Apa yang dikatakan pihak mereka sudah sangat merugikan saya, mana buktinya kalau itu semua benar,” tanya Togu.
Togu juga membantah bahwa ia terlibat dalam pentfransferan file ke Organisasi Polisi Internasional (Interpol).
“Secara tegas saya katakan bahwa hal tersebut tidak benar dikarenakan saya tidak pernah untuk campur tangan dalam tuduhan pencurian dan pemalsuan,” ujarnya..
Togu juga menjelaskan terkait kepemilikan kapal. Menurutnya, kapal tersebut bukan milik pihak Bulk BlackSea lagi. Sejauh ini, pihaknya telah melakukan aktivitas pemeliharaan terhadap kapal Seniha (MV Neha) sesuai dengan surat kuasa per tanggal 21 Maret 2021.
“Kami saat ini terus melakukan penjagaan dan pemeliharaan kapal NV Neha, kemarin sempat mengalami posisi kemiringan , tapi kami sudah perbaiki lagi agar tidak rusak,” kata Togu.
Dalam perkara kasus ini, Kepala Kantor Pelabuhan (Kesyahbandaran) Batam, saat itu dijabat oleh Bambang Gunawan dan Kepala Pos Kesyahbandaran Tanjunguncang Sularno juga menjadi tersangka dan menjalani persidangan.
Mereka didakwa merubah dokumen nama kapal. Dan kenyataannya, yang bersangkutan divonis bebas. Terdakwa lainya Petrik diputus bersalah karena telah membuat surat palsu.
Hingga kini kapal Seniha masih berstatus sita jaminan. Dari laman direktori putusan Mahkamah Agung RI disebutkan Neha IMO 870159 berbendera Djibouti gagal karena adanya pihak yang keberatan.
“Kapal MV Sineha-S IMO 8701519 berbendera Panama yang telah diubah nama menjadi kapal MV Neha IMO 8701519 berbendera Djibouti masih dalam status sebagai objek Sita Jaminan dalam perkara keperdataan di Pengadilan Negeri Batam dan perkara perdata tersebut belum proses upaya hukum. Halaman 23 dari 124 Putusan Nomor 113/Pid.B/2020/PN.Btm2,” demikian salah satu petikannya.
Petikan itu juga mengungkapkan bahwa kapal Seniha IMO 8701519 ke Galangan Kapal PT DDW Pertama untuk diperbaiki pada 10 April 2010.
PT DDW Pertama merupakan bagian dari perusahaan PT DDW Paxocean. Adapun Jasa Maritim Wawasan Nusantara untuk pengurusan segala dokumen dari kapal laut MV Seniha IMO 8701519 berbendera Panama.
Pada bulan Agustus tahun 2011, tergugat meminta kepada penggugat secara lisan untuk melakukan pekerjaan servis kapal itu yang berada di PT Drydock Tanjunguncang, Kota Batam.
Pada Bulan Oktober 2016 terdapat transaksi jual beli kapal laut MV Seniha IMO 8701519 berbendera Panama di Batam dengan dihadiri dari calon pembeli. Namun pihak lain mengetahui adanya pergantian nama kapal hingga terjadi perseteruan.
Sehingga saat itu majelis hakim berpendapat, hal berikutnya yang harus dibuktikan oleh penggugat adalah apakah tergugat ada melakukan perbuatan cedera janji (Wanprestasi) terhadap penggugat dalam hubungan hukum perjanjian pekerjaan perbaikan engine utama kapal MV Seniha-S. (sumber-Batamtoday.com)