Jalankan bisnis penyaluran tenaga kerja Indonesia (TKI) secara ilegal. Pasangan suami istri berinisial AM dan UA di Tangerang harus berhadapan dengan hukum.
AM dan UA mencari dan menyalurkan warga negara Indonesia (WNI) untuk dipekerjakan menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Mereka mematok biaya hingga Rp30 juta untuk setiap pekerja yang diberangkatkan sebagai pekerja migran. Akibatnya, pasutri ini dijerat dengan pasal pelindungan pekerja Indonesia dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Kapolres Kota Tangerang Kombes Pol Wahyu Sri Bintoro menjelaskan, pengungkapan kasus itu bermula dari informasi dan laporan masyarakat Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang, mengenai keberadaan tempat penampungan tenaga kerja ilegal di dalam area perumahan.
“Pelaku pasangan suami istri berinisial AN dan UA. menampung korban-korbanya di perumahan di Desa Wanakerta, Kecamatan Sindang Jaya, Tangerang,” terang Wahyu, Rabu (15/12).
Polisi kemudian melakukan penyelidikan. Di rumah itu, mereka menemukan tiga laki-laki dan tiga perempuan, berinisial LN, S, AS, NYW, I dan SN. Mereka mengaku telah dua bulan ditampung di sana.
“Hasil dari pemeriksaan terhadap 6 orang ini, ternyata yang bersangkutan diiming-imingi akan dipekerjakan di luar negeri, ke daerah Timur Tengah, seperti Turki dan Qatar. Untuk berangkat ke sana, mereka diminta biaya Rp20 sampai Rp30 juta, dengan alasan untuk mengurus paspor, tiket pesawat, surat vaksinasi, dan visa,” jelas Wahyu.
Korban Dijanjikan Gaji Minimal Rp16 Juta
Keenam korban mengaku telah menyetorkan uang tunai senilai Rp20 juta sebagai persyaratan diberangkatkan ke luar negeri. “Kedua pasutri ini modusnya menawarkan pekerjaan sebagai TKI ke luar negeri, yaitu Turki dan Qatar, dengan besaran gaji sebesar USD1200, atau minimal Rp16 juta,” terangnya.
Pelaku menjanjikan para korban akan dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga. Mereka akan diberi tempat tinggal atau mes selama bekerja di luar negeri.
“Namun, korban saat dipekerjakan ke luar negeri atau ke Turki itu tidak dibekali dengan keterampilan khusus maupun bahasa, serta tidak diberikan juga keahlian untuk pemberangkatan ke luar negeri,” sebut Wahyu.
Pendaftaran Melalui Facebook
Dalam melancarkan aksinya, UA, berperan sebagai pencari calon-calon korban melalui media sosial Facebook. “UA bertindak sebagai pemasang iklan di media sosial Facebook. dan hampir semua komunikasi pendaftaran kepada para korban dilakukan di media sosial Facebook. Sementara MA, dalam perannya bertindak mengurus proses administrasi untuk korban calon pekerja, seperti paspor, visa, dan sebagainya. Jadi kedua tersangka ini sebagai pelaku kejahatan jaringan internasional. Mereka berasal dari Lampung,” terangnya.
Berdasarkan pemeriksaan, kedua tersangka ini sudah melakukan aksi ilegal ini selama 1 tahun. “Dalam satu bulan hasil kejahatannya itu mencapai kurang lebih Rp20 juta sampai Rp30 juta. Dalam satu bulan itu juga, tersangka bisa mengirimkan 3 sampai 4 orang,” jelas Wahyu.
Dari rumah penampungan calon pekerja migran itu, polisi menyita sejumlah barang bukti, di antaranya 1 unit handphone, enam paspor, selembar visa elektronik atas nama Ali, satu lembar visa elektronik atas nama Rurgi, satu lembar visa elektronik atas nama Sarpan, satu lembar print tiket pesawat, 4 lembar surat vaksin, serta satu buku tabungan BRI.
Pelaku Pernah Bekerja di Bandara
Atas perbuatan ilegal itu, kedua tersangka dijerat penyidik dengan Pasal 81 Juncto Pasal 69 UU RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Indonesia dengan ancaman hukuman penjara 10 tahun atau denda sebesar Rp15 miliar dan atau Pasal 4 dan Pasal 10 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman 3 sampai 15 tahun penjara dan denda Rp100 juta sampai Rp600 juta.
“Kita akan lakukan kerja sama dengan pihak terkait untuk mengungkap kejahatan perdagangan orang ini. Sampai saat ini kasus ini masih dalam proses penyelidikan lebih lanjut oleh Satreskrim,” tegas Wahyu.
Berdasarkan pengakuan kedua tersangka suami istri itu, pelaku MA, sebelumnya sempat bekerja di Bandara. Sementara istrinya UA, juga sebagai mantan pekerja migran.
“Sehingga dari pengalaman itu mereka melakukan hubungan kerja sama. (Pekerja yang dikirim) sudah, bahkan ada 50 orang yang sudah dikirim ke luar negeri dan sekarang mereka belum kembali ke Indonesia,” tutup Wahyu.
(sumber-Merdeka.com)