Politikus PDIP Hardizal menggugat larangan napi narkoba mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati, atau wali kota yang tertuang di Undang-Undang Pilkada. Hardizal menggugat pasal 7 ayat (2) huruf i dan keterangannya di UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal tersebut mengatur kepala daerah tidak boleh pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Penjelasan pasal itu menyebut perbuatan tercela salah satunya adalah pemakai atau pengedar narkotika.
“Menyatakan pasal 7 ayat (2) huruf i dan penjelasan pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 … bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1946 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” bunyi petitum Hardizal pada perkara nomor 64/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021 dilansir dari CNNIndonesia.
Dalam penjelasan kedudukan pemohon, Hardizal menjelaskan dirinya pernah maju sebagai bakal calon wakil wali kota Sungai Penuh di 2020. Saat itu, ia berpasangan dengan Ahmadi Zubir.
Ahmadi-Hardizal sempat mendapat rekomendasi dari tiga partai, yaitu PDIP, PPP, dan Berkarya. Namun, di tengah jalan Berkarya menarik dukungan. Dua partai lainnya pun memutuskan hal yang sama.
Keputusan tiga partai itu merujuk pada diketahuinya status Hardizal sebagai mantan narapidana narkotika. Hardizal pernah divonis penjara 8 bulan dalam kasus narkotika.
Lewat gugatan ini, ia berharap napi narkotika bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Terlebih lagi, ia sudah menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan.
“Hak pemohon untuk diperlakukan secara sama dengan orang yang telah menjalani pidana seperti pelaku pidana korupsi yang telah menjalani pidana baik pidana penjara dan denda serta semua teknis administrasi yang berkaitan dengan lapas,” tulis Hardizal dalam permohonan gugatan itu.