Gugatan uji materi (judicial review) pasal pernikahan beda agama UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang dilayangkan Ramos Petege.
Menurut Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Prof Abdul Muti, gugatan yang diajukan Ramos selaku pemohon tersebut bukanlah hal yang baru.Pemohon juga pernah ajukan gugatan sebelumnya, namun ditolak.
“Sudah ada pasal-pasal di UU Perkawinan yang digugat di MK. Yang bersangkutan juga sudah pernah mengajukan gugatan dan ditolak,” kata dia saat dihubungi merdeka.com, Selasa (8/2).
Meski demikian, Abdul tak mau merespons lebih jauh terhadap gugatan tersebut. Gugatan tersebut adalah hak konstitusional setiap warga negara.
“Gugatan itu merupakan hak konstitusional warga negara baik secara individu maupun bersama-sama. Gugatan itu hal yang wajar dan biasa-biasa saja,” ujar Abdul.
Abdul juga mengatakan, gugatan yang dilayangkan pemohon menitik beratkan kepada rasa keberatannya yang dianggap Undang-undang pernikahan itu bertentangan dengan UUD 1945.
“Kalau gugatan di MK lebih terkait dengan UUD 1945. Kalau terkait pernikahan beda agama, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam,” ucapnya.
Seorang pria bernama E. Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua melayangkan uji materi (judicial review) terhadap Undang undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasan ajukan gugatan tersebut, karena dirinya merasa dirugikan dengan Undang-undang yang berimbas terhadap dirinya gagal menikah. Akibat perbedaan agama dengan pasangannya yang beragama muslim, sementara dirinya menganut katolik.
“Pemohon adalah Warga Negara Perseorangan yang memeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam,” bunyi uraian dalam draft permohonan gugatan yang telah terdaftar dalam situs MK, dikutip Senin (7/2).
Namun, ketika hendak melangsungkan pernikahan usai jalani hubungan selama tiga tahun, upaya itu dibatalkan, karena persoalan perbedaan agama antara mempelai pria dan wanita.
“Mengenai syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur dalam ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan yang beragama,” katanya.
“Jumlahnya dalam menafsirkan sahnya suatu perkawinan akan tetapi tidak memberikan pengaturan apabila perkawinan tersebut dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda,” lanjutnya.
Oleh karena itu, telah berdampak pada ketidakpastian secara aktual yang melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki Ramos. Sehingga ia tidak dapat melangsungkan perkawinan karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodir negara.
“Hal ini tentunya menyebabkan pemohon kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaannya karena apabila hendak melakukan perkawinan adanya paksaan salah satunya untuk menundukan keyakinan,” ucapnya.
Adapun dalam gugatan ini, Ramos mengajukan uji materiil terhadap pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan prinsip kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin dalam ketentuan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945.
“Serta tidak mampu memberikan kepastian hukum kepada masyarakat sehingga bertentangan pula dengan Pasal 28D Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945,” kata dia dalam permohonan gugatannya.
Meski, pemohon berpandangan bahwa seharusnya permohonan ini tidak dapat diklasifikasikan ne bis in idem (dilarang digugat kembali). Namun dirinya tetap meyakini dalam hal ini adanya perbedaan konstitusional.
“Karena tentunya terdapat perbedaan dalam hal konstitusionalitas yang menjadi alasan diajukannya permohonan,” ucapnya.
Permohonan tersebut didaftarkan secara daring dan diterima pada Jumat (4/2). Dengan surat kuasa ditunjukkan kepada Ni Komang Tari Padmawati, Hans Poliman, Alya Fakhira, Dixon Sanjaya, Asima Romian Angelina, Ramadhini Silfi Adisty, Sherly Angelina Chandra dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.
(sumber-Merdeka.com)