Beberapa pekan ke belakang publik sempat dihebohkan dengan adanya kasus pemerkosaan belasan santri di Bandung.
Terbaru, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung memvonis Herry Wirawan, guru cabuli 13 santriwatinya hukuman seumur hidup. Selain itu, Hakim juga mengganjar Herry dengan hukuman membayar restitusi biaya restitusi atau ganti terhadap para korban pemerkosaannya yang dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Apa itu hukuman restitusi?
Pakar hukum pidana dari Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi menjelaskan bahwa aturan restitusi yang dijatuhkan kepada Herry telah merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017.
“Ini khusus untuk korban anak, jadi korban tindak pidana yang korbannya anak bisa minta ganti kerugian atas kehilangan kekayaan tindak pidana atau perawatan medis maupun psikologis,” kata Fachrizal saat dilansir dari merdeka.com, Rabu (16/2).
Menurutnya, aturan restitusi ini bertujuan agar korban yang khususnya anak-anak mendapatkan hak-hak atas kerugian pidana yang dialaminya. Karena, tak jarang, persoalan kekerasan maupun pelecehan kepada anak akan lebih fokus terhadap pelaku.
“Terus kan kalau pelaku dihukum. Nah negara juga harus punya tanggung jawab kepada korban untuk membantu ya,” katanya.
Sementara untuk korban selain anak, lanjut Fachrizal, aturan restitusi juga turut diatur dalamUndang-undang No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa Korban melalui LPSK berhak mengajukan hak restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana ke pengadilan.
“Jadi kompensasi korban, yang korbannya lain (bukan anak) itu ada di Undang-Undang di LPSK. Jadi korban itu bisa meminta ganti rugi atau restitusi kepada pelaku,” terangnya.
Singkatnya, Fachrizal menjelaskan perbedaan antara restitusi dengan ganti rugi tertitik pada pengurusan pengajuannya. Dimana restitusi seluruh prosesnya diurus negara. Sedangkan, ganti rugi diurus pribadi melalui mekanisme gugatan perdata.
“Jadi misalkan. Korban gugat Herry (pelaku pencabulan) itu bisa itu, misalkan restitusi tidak dipenuhi. Jadi sama-sama ganti rugi, tapi restitusi itu difasilitasi negara, jadi korban tidak perlu nuntut, apalagi itu kan perlu tenaga ya,” tuturnya.
Kemudian, Fachrizal menjelaskan jika proses pengajuan restitusi bisa dilakukan baik ketika di tahap penyidikan maupun ketika telah naik ke persidangan. Sebagaimana dalam Pasal 8 PERMA No. 3 Tahun 2017 Penggabungan tuntutan ganti rugi dalam perkara pidana mengacu pada ketentuan dalam KUHAP.
Dimana, Korban yang berhak ajukan restitusi yaitu, pelanggaran HAM berat, korban terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual dan penganiayaan berat menggunakan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
Jika kasusnya khusus kepada korban anak-anak maka mekanisme pengajuan restitusi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
Semisal dalam kasus Harry Wirawan jaksa penuntut umum meminta kepada majelis hakim agar mengabulkan adanya beban biaya restitusi kepada 12 anak korban sebesar Rp331.527.186.
“Jadi ada permohonannya mulai dari penyidikan, penuntutan. Kalau ini (kasus Harry) kan di persidangan jaksa yang minta dan kemudian dikabulkan hakim,” sebutnya.
Meski dalam putusanya, lanjut Fachrizal, Majelis Hakim mengambil langkah terobosan hukum baru dengan membebankan biaya restitusi kepada Kemen PPPA. Hal itu karena, Harry telah dijatuhi hukuman paling berat yakni seumur hidup.
“Karena kalau sudah ada hukuman pidana paling berat itu kan tidak bisa dibebani hukuman yang lain. Itulah kemudian hakim secara progresif, dalam tanda kutip kreatif. Itu membebankannya kepada Kementerian PPPA ya,” jelasnya.
Fachrizal menilai jika keputusan hakim membebankan biaya restitusi kepada Kemen PPPA, harus segera disikapi pemerintah untuk membuat aturan persoalan restitusi lebih rinci.
Salah satunya, membuat aturan untuk victim trust fund atau dana perwakilan korban yang sudah mulai diterapkan di luar negeri. Untuk bagaimana, negara menyiapkan skema bantuan kepada korban. Karena sesuai Pasal 67 KUHP, terpidana mati atau terpidana seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pidana lain.