Keluarga korban penghilangam paksa 1997-1998 menggugat Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta dan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Jumat (1/4).
Gugatan ini terkait pengangkatan Mayor Jenderal Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam Jaya.
Diketahui, Pangdam Untung merupakan mantan anggota Tim Mawar yang melakukan penculikan dan penghilangan paksa para aktivis prodemokrasi jelang runtuhnya rezim militer Soeharto.
Paian yang merupakan ayah dari Ucok Munandar Siahaan selaku korban, serta Hardiangga selaku anak dari Yani Afri yang juga merupakan korban mengajukan gugatan itu bersama dengan sejumlah lembaga yang menjadi kuasa hukum keduanya seperti Imparsial, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Gugatan itu diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta dan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta yang terdaftar dengan nomor perkara 87/G/2020/PTUNJKT.
“Gugatan ini dilayangkan atas Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/5/I/2022 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan TNI tertanggal 4 Januari 2022 yang berisi pengangkatan Mayjen TNI Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya,” tulis keterangan resmi KontraS, Jumat (4/1).
Adapun tiga alasan gugatan tersebut dilayangkan yaitu pertama, pengangkatan pelaku kejahatan sebagai pejabat dinilai dapat menciptakan preseden buruk, yakni dengan diapresiasi dan diberikannya posisi penting terhadap orang yang tidak memiliki integritas untuk melayani masyarakat Indonesia.
“Pejabat publik yang terlibat pelanggaran HAM telah menunjukkan ketiadaan integritas yang mendasar dan merusak kepercayaan warga negara yang seharusnya mereka layani. Mayjen Untung sendiri telah terbukti di pengadilan secara sewenang-wenang menggunakan jabatan militernya untuk menculik dan menyiksa masyarakat sipil,” tulis KontraS.
Kedua, pengangkatan tersebut dinilai mencederai perjuangan keluarga korban yang hingga kini masih kehilangan sebab sebagian korban nyatanya masih belum ditemukan.
“Orang-orang yang berada pada inti kasus tersebut, termasuk Untung Budiharto, tidak pernah berterus terang atas kebenaran kasus atau membantu investigasi pencarian, lagi-lagi malah diberi apresiasi dan promosi jabatan,” bunyi pernyataan KontraS.
Lalu ketiga, pengangkatan Pangdam Untung dan diturunkannya Surat Telegram (ST) Panglima TNI No. ST/1221/2021 disebut berpotensi mengganggu penegakan hukum dan HAM di wilayah Kodam Jaya. Sebab, ST tersebut dinilai membuat gerak para penegak hukum menjadi terbatas.
“ST tersebut menyebutkan penegak hukum-seperti Kepolisian, Kejaksaan-harus berkoordinasi dengan Komandan/Kepala Satuan TNI untuk memanggil aparat militer dalam suatu proses hukum. Dengan demikian, dipegangnya jabatan Pangdam Jaya oleh pelanggar HAM sendiri menjadi “hambatan” dan berpotensi mempersulit para penegak hukum,” tegas KontraS.