Kementerian Luar Negeri Tunisia mengatakan pada Selasa (5/4) bahwa komentar Presiden Turki Tayyip Erdogan tentang pembubaran parlemen Tunisia adalah “campur tangan yang tidak dapat diterima” dalam urusan dalam negeri.
Erdogan menyebut bahwa pembubaran parlemen Tunisia yang dilakukan Presiden Kais Saeid telah menodai demokrasi. Erdogan yakin hal ini tidak sesuai dengan kehendak rakyat.
“Demokrasi adalah sistem yang merupakan perwujudan dari rasa hormat antara yang dipilih dan yang ditunjuk. Kami melihat perkembangan di Tunisia sebagai noda demokrasi,” katanya dilansir dari CNBC Indonesia.
“Membubarkan parlemen di mana ada pejabat terpilih adalah pemikiran untuk masa depan Tunisia dan merupakan pukulan bagi kehendak rakyat,” tambahnya.
Hal ini pun mengundang reaksi dari Tunisia. Kementerian Luar Negeri Tunisia mengatakan komentar Erdogan merupakan campur tangan urusan internal negaranya yang tak dapat diterima.
“Tunisia menyatakan keheranannya atas pernyataan Presiden Turki … komentar ini tidak dapat diterima,” kata Kementerian Luar Negeri dalam sebuah pernyataan seperti dilansir Reuters, Selasa (5/4).
“Tunisia menegaskan keinginannya untuk menjalin hubungan dekat dengan negara-negara sahabat, tetapi tetap berpegang pada independensi keputusannya dan menolak campur tangan dalam kedaulatannya,” tambah pernyataan itu.
Kondisi politik di Tunisia sendiri mulai memanas sejak Juli 2021 lalu. Ini diawali oleh pemecatan Perdana Menteri (PM) Hichem Mechichi oleh Saeid. Saeid merasa pemerintahan Mechichi mengalami kegagalan dalam menanggulangi Covid-19 serta isu ekonomi.
Sementara itu, Turki dalam beberapa tahun terakhir berupaya meningkatkan pengaruhnya di seluruh Afrika. Ankara menyediakan peralatan militer, pelatihan, dan personel ke beberapa negara dan juga menandatangani beberapa proyek di benua itu.
Turki juga tercatat merupakan salah satu aktor kunci dalam konflik Libya.