Menanggapi gugatan seorang warga, E. Ramos Petege yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur pernikahan beda agama. Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly dan Menteri Agama (Menag) Cholil Yaqut Qoumas menolak melegalkan pernikahan beda agama.
“Menurut pemerintah sudah sepatutnya MK menyatakan menolak pemohonan,” kata pegawai Kemenag Kamaruddin Amin yang diberi kuasa membacakan keterangan pemerintah di sidang MK, sebagaimana dikutip dari risalah sidang, Senin (4/7/2022).
Baik Yasonna maupun Yaqut sama-sama bertindak atas nama Presiden Joko Widodo. Mereka mempersoalkan kedudukan hukum Ramos sebagai pemohon. Menurut mereka, Ramos tidak mengalami kerugian konstitusional.
Yasonna dan Yaqut mengatakan setiap agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat memiliki hukum perkawinan. Di dalam hal ini termasuk syarat dan cara perkawinan.
Namun, kata pemerintah, Ramos sebagai memohon memiliki kehendak bebas dan menyimpang dari aturan perkawinan itu karena keinginan untuk melakukan beda agama. Permohonan ini juga dinilai sebagai upaya Ramos mencari jalan pintas menyimpang syariat.
“Hal inilah yang menjadi tidak jelas atau kabur (obscuur libel) dari petitum pemohon pemohon,” ujar Kamaruddin.
Petitum lain yang dianggap kabur adalah pemaknaan pemohon terhadap Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Pasal tersebut menyebut 2 orang yang menjalin hubungan dilarang menikah karena sah atau tidaknya perkawinan menurut hukum masing-masing agama.
Hukum mengenai perkawinan di masing-masing agama menjadi bagian penting. Karena itu, menghapus larangan dalam hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaannya merupakan permohonan yang kabur.
“Sehingga menurut Pemerintah adalah tidak tepat jika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi … Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard),” ujar Kamaruddin.
Menolak Pokok Perkara
Pada pokok perkara gugatan ini, pemerintah membantah dalil pemohon. Termasuk di sini adalah argumen bahwa pernikahan, baik agama maupun tidak, merupakan HAM yang tidak boleh dihambat negara.
Terkait ini Yasonna dan Yaqut menyatakan bahwa UU Perkawinan dibuat untuk memberikan rasa aman dan kepastian hukum setiap pemeluk agama. Sementara itu, setiap agama memiliki aturan yang berbeda.
“Sehingga tidak mungkin untuk disamakan suatu hukum perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan,” sebagaimana dibacakan Kamaruddin.
Selain itu, pemerintah juga menyodorkan sejumlah dalil dalam hukum Islam, termasuk fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pernikahan beda agama.
Pemerintah juga menyatakan beda agama dan kepercayaan tidak boleh dilakukan atas dasar HAM dan kebebasan. Sebab, dalam menjalankan dua hal itu negara telah menetapkan.
Dengan tujuan semata-mata untuk memastikan pengakuan dan pengakuan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi persyaratan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, umum dalam suatu masyarakat demokratis, tutur Kamaruddin.
Atas dasar dalil dan bantahan itu, Yasonna dan Yaqut meminta Mahkamah menyatakan pemohon tidak memiliki legal standing. Mahkamah juga diminta untuk mengajukan permohonan pengujian pemohon.
“Menolak Permohonan Pengujian Pemohon secara keseluruhan. Atau setidak?tidaknya menyatakan Permohonan Pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard),” kata Kamaruddin.
Sebelumnya, Ramos mengajukan gugatan atas UU Perkawinan. Ia meminta agar Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan tidak dapat mengatur perkawinan beda agama.
Dalam permohonannya, Ramos telah menjalin hubungan selama 4 tahun. Namun, saat kedua pihak telah mencapai kesepakatan untuk menikah, meski harus menundukkan salah satu agama, perkawinan itu dibatalkan mempelai wanita.
“Perkawinan ini tetap dibatalkan oleh pihak mempelai wanita karena sahnya perkawinan tetap ditentukan hukum agama dan tentunya hal tersebut dilarang berdasarkan hukum agama yang berlaku,” sebagaimana dikutip dari permohonan Ramos. (sumber-CNNI)