Beberapa bulan lalu, kondisi kesehatan Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi sorotan.
Beberapa pihak berspekulasi ia menderita kanker, Parkinson, dan upaya pembunuhan.
Sejumlah pihak menyebut dia akan meninggal dalam dua tahun. Apa yang terjadi jika tiba-tiba Putin meninggal?
Jika Putin meninggal dunia atau meninggalkan jabatan secara tiba-tiba, Dewan Federasi Rusia akan menggelar pemilihan presiden dalam waktu 14 hari.
Seandainya Dewan Federasi tak bisa melakukan itu, maka tugas tersebut akan beralih ke Komisi Pemilihan Umum.
Di waktu yang sama, Perdana Menteri Rusia Mikhail Mishustin akan menjadi pelaksana tugas presiden.
Beberapa pengamat menilai penerus Putin adalah wakil ketua dewan keamanan federasi Rusia, Dmitry Medvedev.
Medvedev pernah menjabat sebagai Presiden Rusia pada 2008 hingga 2012. Ia juga sempat menjadi Perdana Menteri dari 2012 hingga 2020.
“Dmitry Anatolyevich Medvedev seorang politisi Rusia yang telah menjadi wakil ketua Dewan Keamanan Rusia sejak 2020,” kata pengamat Hubungan Internasional, Suzie Sudarman, kepada CNNIndonesia.com, saat ditanya siapa pengganti Putin, Kamis (15/9).
Namun, pengamat lain mengatakan sejauh ini tak ada satu pun yang mengetahui siapa penerus Putin.
“Pada dasarnya tak ada yang tahu [siapa penerus Putin]. Jika seseorang memulai dengan Medvedev sebagai penerus, itu akan tampak sebagai serangan politik ke dia,” ujar pengamat politik, Tatiana Stanovaya, kepada Al Jazeera, Senin (12/9).
Stanavaya mengungkapkan tak ada yang ingin tampil sebagai penerus karena akan membuat posisi mereka rentan.
Sulit Cari Sosok Pengganti Putin
Pakar keamanan, Mark Galeotti, mengakui sulit mencari pengganti Putin untuk menjadi orang nomor satu di Rusia.
“Dari semua spekulasi sakit, tak ada bukti dia [Putin] sakit serius, dan membuat dia menyingkir dari perang,” ucap Galeotti.
Ia kemudian berujar, “Saya tak bisa menilai dia pensiun kecuali paksaan dari orang-orang di sekitarnya.”
Di sisi lain, pengamat juga menilai pria 69 tahun bisa saja duduk di kursi kekuasaan hingga 10 tahun atau bahkan lebih, jika dia mau.
Para pengamat juga menilai kepergian Putin dari kantor kepresidenan betul-betul jika karena paksaan orang-orang di dekatnya.
“Jika sesuatu terjadi kepada dia besok, saya yakin sistem akan tetap bertahan. Itu akan kokoh,” kata Stanovaya.
Lebih lanjut, dia menerangkan pasukan keamanan, siloviki, akan berinisiasi mengambil alih keadaan.
“Namun, jika sesuatu terjadi ke Putin di kemudian hari, satu atau dua tahun lagi, risiko destabilisasi akan lebih banyak,” jelas Stanavoya.
Ia juga menilai, publik akan melihat pertikaian, sementara siloviki memiliki lebih sedikit kesempatan mempertahankan inisiatifnya.
“Tahun depan situasinya mungkin lebih berbeda dan sulit,” imbuh Stanavoya.
Penilaian lain muncul dari Suzie. Jika Putin meninggal tiba-tiba Rusia memiliki beban ekonomi yang berat.
Perang Bisa Tak Berlanjut
Selain itu perang yang berkecamuk di Ukraina juga kemungkinan terhenti. Rusia menginvasi negara tetangganya pada Februari lalu.
Hari-hari setelah itu, ledakan dan pertempuran terus terjadi hingga sekarang.
“[Perang] ya tidak bisa lanjutkan perang,” kata pengamat Hubungan Internasional, Suzie Sudarman.
Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, mengatakan jika Putin meninggal birokrasi baru tak mampu membantu koalisi.
“Dalam keadaan sulit tersebut, akan terbangun koalisi longgar, yang cenderung melunakkan posisi Rusia dalam menangani urusan Ukraina dan NATO,” ujar Rezasyah.
Rusia menginvasi Ukraina, menurut Rezasyah, karena cemas negara itu akan bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Jika bergabung, negara itu disebut akan menjadi pangkalan militer aliansi ini.
Putin memegang kendali di Rusia lebih dari dua dekade. Ia menjadi pemimpin dari 2000 hingga 2008.
Kemudian ia menjadi presiden Rusia lagi pada 2012 hingga sekarang.
Kepemimpinan Putin akan berakhir pada 2024. Namun, pada 2020, ia mengubah konstitusi Rusia.
Aturan baru itu memungkinkan dia mencalonkan diri selama dua periode hingga 2036.
Sejumlah pengamat menilai, jika ekonomi gagal dan ketidakpuasan publik tumbuh, faksi lain mungkin mencoba merebut kendali. (sumber: CNNIndonesia.com)